Di era digital yang serba cepat dan terhubung, banyak orang terdorong untuk terus tampil dan menunjukkan eksistensi dirinya di ruang publik. Media sosial telah menjadi panggung utama bagi siapa pun yang ingin terlihat hebat, sukses, dan relevan. Dalam dunia seperti ini, pencapaian sering kali tidak cukup jika tidak disertai dengan pengakuan publik. Bahkan, sikap rendah hati kerap dianggap kurang menarik atau tidak kompetitif. Budaya digital secara tidak langsung mendorong pembentukan citra yang sempurna, dan banyak orang merasa bahwa menjadi hebat berarti harus selalu terlihat “besar” di mata orang lain, setiap saat dan dalam setiap tindakan yang dibagikan.
Namun, benarkah kehebatan harus selalu dipamerkan? Apakah nilai sejati seseorang hanya dapat diukur dari jumlah pengikut, unggahan, atau pujian yang diterima? Ketika semua orang berlomba-lomba untuk menonjol, kerendahan hati justru menjadi kualitas yang langka namun bermakna. Menjadi hebat tanpa menyombongkan diri bukanlah kontradiksi, melainkan sebuah bentuk keunggulan yang lebih dalam dan lebih utuh. Esai ini akan membahas bagaimana rendah hati dapat menjadi kekuatan sejati di tengah budaya pamer, dengan merujuk pada gagasan dari tujuh buku inspiratif yang mengupas ego, karakter, dan makna kehadiran manusia di era digital yang semakin kompleks.
Rendah hati sering disalahartikan sebagai kelemahan atau kekurangan percaya diri. Padahal, dalam makna yang lebih dalam, rendah hati adalah kesadaran penuh atas diri sendiri, kelebihan dan keterbatasan, tanpa merasa lebih tinggi dari orang lain. John Dickson dalam bukunya Humilitas: The Quiet Power of an Ancient Virtue menyebut bahwa rendah hati adalah kemampuan untuk menahan keinginan untuk menonjol dan memberi ruang kepada orang lain. Ia menekankan bahwa kerendahan hati adalah kekuatan yang tidak berisik—kekuatan yang tidak perlu panggung, tetapi berdampak.
David Brooks dalam The Road to Character membedakan antara dua jenis kebajikan: kebajikan resume dan kebajikan eulogi. Kebajikan resume adalah prestasi dan kemampuan yang biasanya dicantumkan dalam CV atau profil publik. Sementara kebajikan eulogi adalah sifat-sifat mendalam yang diingat orang ketika kita tiada—kejujuran, kerendahan hati, kebaikan, dan integritas. Menjadi hebat dalam pengertian ini berarti membentuk karakter yang kuat dari dalam, bukan hanya dari tampilan luar.
Rendah hati bukan berarti menyepelekan diri sendiri, melainkan memiliki keteguhan batin untuk tidak mencari pengakuan yang berlebihan. Ini adalah pilihan sadar untuk tidak membiarkan ego mengambil alih arah hidup. Di tengah arus digital yang serba cepat dan kompetitif, rendah hati menjadi pernyataan yang kuat tentang siapa kita sebenarnya.
Di era media sosial, kerendahan hati menghadapi ujian yang serius. Dunia digital dirancang untuk mendorong eksistensi, visibilitas, dan pencitraan diri yang konstan. Setiap platform—dari Instagram hingga TikTok—mendorong penggunanya untuk tampil menarik, sukses, dan menonjol. Dalam lingkungan seperti ini, rendah hati sering kali tampak seperti kelemahan, sementara kesombongan terselubung menjadi norma yang diterima. Christopher Lasch dalam bukunya The Culture of Narcissism menggambarkan bagaimana masyarakat modern telah membentuk budaya narsistik yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan akan pengakuan. Individu berlomba-lomba menciptakan citra ideal yang belum tentu mencerminkan siapa diri mereka sebenarnya.
Fenomena ini juga mendorong apa yang disebut sebagai performative virtue—tindakan baik yang dilakukan untuk dilihat, bukan karena keyakinan moral. Banyak orang yang menampilkan kebaikan, empati, atau kerendahan hati di media sosial, namun dalam realitasnya itu hanyalah strategi citra. Hal ini mengaburkan makna sejati dari sikap rendah hati yang lahir dari kesadaran batin, bukan dari kebutuhan akan validasi eksternal.
Jon Ronson dalam So You’ve Been Publicly Shamed menunjukkan sisi gelap budaya digital: kecenderungan untuk mempermalukan secara massal orang yang dianggap arogan, tidak etis, atau terlalu percaya diri. Ini menciptakan rasa takut tersendiri—di mana seseorang bisa dihukum karena menunjukkan sedikit kesombongan, namun di sisi lain tetap terdorong untuk tampil demi eksistensi. Dalam dilema ini, rendah hati menjadi pilihan yang semakin langka namun semakin penting. Bukan hanya sebagai nilai moral, tapi sebagai bentuk ketahanan diri di tengah arus digital yang menuntut tampil, bersaing, dan selalu "ada".
Ego adalah salah satu hambatan terbesar dalam perjalanan menuju kehebatan sejati. Ia mendorong seseorang untuk terus merasa lebih unggul, lebih benar, dan lebih penting daripada orang lain. Dalam dunia yang sangat kompetitif seperti saat ini, terutama di ranah digital, ego mudah tumbuh secara tidak disadari. Kita merasa berhasil jika unggahan kita mendapat banyak perhatian. Kita merasa lebih baik ketika pencapaian kita diakui secara publik. Namun di balik itu semua, ego bisa menjadi ilusi yang menyesatkan. Ryan Holiday dalam bukunya Ego is the Enemy menyatakan bahwa ego adalah musuh dalam selimut yang dapat mengaburkan visi, menghambat pertumbuhan, dan merusak hubungan. Menurutnya, banyak orang gagal bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena membiarkan ego mendikte pilihan mereka.
Kerendahan hati adalah penawar dari racun ego. Ia tidak mengharuskan seseorang untuk meremehkan dirinya, melainkan menyadarkan bahwa setiap pencapaian adalah hasil kerja keras bersama, keberuntungan, dan pembelajaran dari orang lain. Ketika seseorang menahan dorongan untuk menyombongkan diri dan memilih untuk terus belajar, di situlah kehebatan sejati tumbuh. Ego sering kali membuat kita ingin diakui sekarang, sedangkan rendah hati membuat kita siap berkembang dalam jangka panjang. Dalam dunia digital, memilih untuk tidak selalu terlihat atau diakui bisa menjadi langkah bijak untuk tetap terhubung pada nilai-nilai inti dan menjaga keseimbangan batin.
Menjadi rendah hati di era digital bukanlah perkara mudah, namun sepenuhnya mungkin dilakukan dengan kesadaran dan strategi yang tepat. Dunia maya sering kali menuntut kita untuk hadir secara terus-menerus, menunjukkan pencapaian, bahkan membagikan kehidupan pribadi agar dianggap relevan. Dalam konteks ini, memilih untuk tampil secukupnya atau bahkan membatasi eksistensi digital bisa menjadi bentuk kerendahan hati yang paling nyata. Cal Newport dalam bukunya Digital Minimalism mendorong individu untuk menggunakan teknologi secara sadar, bukan sekadar mengikuti arus. Ia menekankan pentingnya membangun hubungan yang bermakna, bukan hanya koneksi yang banyak tetapi dangkal. Dalam kerangka ini, kerendahan hati menjadi tindakan sadar untuk tidak memamerkan segalanya, dan fokus pada kualitas daripada kuantitas perhatian.
Kerendahan hati juga bisa diwujudkan melalui cara kita berinteraksi di ruang digital. Misalnya dengan memberi ruang bagi orang lain untuk didengar, tidak merasa harus selalu benar, dan mampu meminta maaf ketika salah. Brené Brown dalam Dare to Lead menyatakan bahwa kepemimpinan sejati muncul ketika seseorang cukup berani untuk bersikap terbuka dan rentan. Dalam dunia digital yang penuh polarisasi dan perdebatan ego, pemimpin yang rendah hati justru memiliki kekuatan untuk menyatukan, bukan memecah. Ia berani hadir tanpa harus mendominasi, dan mampu menginspirasi tanpa menggurui.
Dengan strategi seperti ini, rendah hati bukan lagi sekadar nilai pribadi, tetapi menjadi pendekatan sosial yang memperkuat relasi dan kepercayaan. Ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap budaya digital yang serba pamer, serta upaya mempertahankan kemanusiaan dalam teknologi. Dalam ruang yang bising dan penuh ego, kerendahan hati justru terdengar paling lantang.
Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang menunjukkan bahwa kehebatan tidak harus ditampilkan dengan sorotan dan pujian. Nelson Mandela, misalnya, adalah simbol kepemimpinan yang rendah hati. Setelah dibebaskan dari penjara selama 27 tahun, ia tidak membalas dendam, tetapi justru memilih jalan rekonsiliasi. Ia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan tindakannya jauh lebih kuat dari retorikanya. Malala Yousafzai juga menjadi contoh keberanian dan kerendahan hati. Meski menjadi wajah perjuangan hak pendidikan perempuan di dunia, ia tetap tampil sederhana, merakyat, dan tidak pernah mencitrakan diri secara berlebihan. Keteladanan seperti ini membuktikan bahwa sikap rendah hati mampu memberikan pengaruh besar yang mendalam dan tahan lama.
David Brooks dalam The Road to Character menekankan bahwa orang-orang besar dalam sejarah biasanya memiliki kehidupan batin yang kaya dan reflektif. Mereka tidak sibuk membentuk citra, tetapi fokus membentuk karakter. Hal ini sejalan dengan peran pendidikan sebagai wadah pertumbuhan nalar dan nurani. Dalam konteks pembelajaran, guru memiliki peran penting untuk menanamkan nilai rendah hati kepada siswa. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan hati. Guru perlu memberi ruang bagi siswa untuk belajar mendengarkan, menghargai pandangan orang lain, serta tidak merasa lebih dari teman-temannya. Ini bukan proses instan, tetapi perlu dibangun lewat keteladanan sehari-hari.
Melalui kurikulum yang memberi tempat pada refleksi diri, praktik empati, dan diskusi terbuka, siswa dapat belajar bahwa menjadi hebat tidak selalu harus ditunjukkan. Sekolah bisa menjadi tempat di mana rendah hati bukan hanya diajarkan, tetapi juga dirasakan dan dicontohkan. Dalam dunia yang makin kompetitif, pendidikan karakter seperti ini menjadi benteng penting agar generasi muda tetap memiliki akar yang kuat dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Di era digital yang mendorong semua orang untuk terlihat unggul, rendah hati menjadi nilai yang semakin langka namun penting. Kehebatan sejati tidak diukur dari sorotan layar, tetapi dari kedalaman karakter dan ketulusan tindakan. Rendah hati bukan kelemahan, melainkan keberanian untuk tidak selalu menjadi pusat perhatian dan kesediaan untuk terus belajar dan tumbuh bersama orang lain.
Melalui pemikiran dari buku Humilitas, Ego is the Enemy, hingga The Road to Character, kita belajar bahwa membangun karakter lebih penting daripada membangun citra yang bersifat semu dan mudah hilang. Dunia yang penuh ego dan pencitraan digital membutuhkan lebih banyak suara yang jujur, tenang, dan bijak—suara yang lahir dari kerendahan hati dan kekuatan reflektif yang konsisten.
Menjadi hebat tanpa menyombongkan diri bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak untuk dilakukan di masa kini. Dalam keheningan dan kesadaran akan nilai diri yang sejati, kita menemukan kekuatan yang membentuk dunia yang lebih manusiawi, lebih bermakna, dan lebih kokoh dari sekadar pujian sesaat yang fana.
Menjadi hebat tanpa menyombongkan diri bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak untuk dilakukan. Dalam keheningan dan kesadaran akan nilai diri, kita menemukan kekuatan yang membentuk dunia yang lebih manusiawi dan berakar pada nilai-nilai sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI