Kerendahan hati juga bisa diwujudkan melalui cara kita berinteraksi di ruang digital. Misalnya dengan memberi ruang bagi orang lain untuk didengar, tidak merasa harus selalu benar, dan mampu meminta maaf ketika salah. Brené Brown dalam Dare to Lead menyatakan bahwa kepemimpinan sejati muncul ketika seseorang cukup berani untuk bersikap terbuka dan rentan. Dalam dunia digital yang penuh polarisasi dan perdebatan ego, pemimpin yang rendah hati justru memiliki kekuatan untuk menyatukan, bukan memecah. Ia berani hadir tanpa harus mendominasi, dan mampu menginspirasi tanpa menggurui.
Dengan strategi seperti ini, rendah hati bukan lagi sekadar nilai pribadi, tetapi menjadi pendekatan sosial yang memperkuat relasi dan kepercayaan. Ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap budaya digital yang serba pamer, serta upaya mempertahankan kemanusiaan dalam teknologi. Dalam ruang yang bising dan penuh ego, kerendahan hati justru terdengar paling lantang.
Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang menunjukkan bahwa kehebatan tidak harus ditampilkan dengan sorotan dan pujian. Nelson Mandela, misalnya, adalah simbol kepemimpinan yang rendah hati. Setelah dibebaskan dari penjara selama 27 tahun, ia tidak membalas dendam, tetapi justru memilih jalan rekonsiliasi. Ia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan tindakannya jauh lebih kuat dari retorikanya. Malala Yousafzai juga menjadi contoh keberanian dan kerendahan hati. Meski menjadi wajah perjuangan hak pendidikan perempuan di dunia, ia tetap tampil sederhana, merakyat, dan tidak pernah mencitrakan diri secara berlebihan. Keteladanan seperti ini membuktikan bahwa sikap rendah hati mampu memberikan pengaruh besar yang mendalam dan tahan lama.
David Brooks dalam The Road to Character menekankan bahwa orang-orang besar dalam sejarah biasanya memiliki kehidupan batin yang kaya dan reflektif. Mereka tidak sibuk membentuk citra, tetapi fokus membentuk karakter. Hal ini sejalan dengan peran pendidikan sebagai wadah pertumbuhan nalar dan nurani. Dalam konteks pembelajaran, guru memiliki peran penting untuk menanamkan nilai rendah hati kepada siswa. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan hati. Guru perlu memberi ruang bagi siswa untuk belajar mendengarkan, menghargai pandangan orang lain, serta tidak merasa lebih dari teman-temannya. Ini bukan proses instan, tetapi perlu dibangun lewat keteladanan sehari-hari.
Melalui kurikulum yang memberi tempat pada refleksi diri, praktik empati, dan diskusi terbuka, siswa dapat belajar bahwa menjadi hebat tidak selalu harus ditunjukkan. Sekolah bisa menjadi tempat di mana rendah hati bukan hanya diajarkan, tetapi juga dirasakan dan dicontohkan. Dalam dunia yang makin kompetitif, pendidikan karakter seperti ini menjadi benteng penting agar generasi muda tetap memiliki akar yang kuat dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Di era digital yang mendorong semua orang untuk terlihat unggul, rendah hati menjadi nilai yang semakin langka namun penting. Kehebatan sejati tidak diukur dari sorotan layar, tetapi dari kedalaman karakter dan ketulusan tindakan. Rendah hati bukan kelemahan, melainkan keberanian untuk tidak selalu menjadi pusat perhatian dan kesediaan untuk terus belajar dan tumbuh bersama orang lain.
Melalui pemikiran dari buku Humilitas, Ego is the Enemy, hingga The Road to Character, kita belajar bahwa membangun karakter lebih penting daripada membangun citra yang bersifat semu dan mudah hilang. Dunia yang penuh ego dan pencitraan digital membutuhkan lebih banyak suara yang jujur, tenang, dan bijak—suara yang lahir dari kerendahan hati dan kekuatan reflektif yang konsisten.
Menjadi hebat tanpa menyombongkan diri bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak untuk dilakukan di masa kini. Dalam keheningan dan kesadaran akan nilai diri yang sejati, kita menemukan kekuatan yang membentuk dunia yang lebih manusiawi, lebih bermakna, dan lebih kokoh dari sekadar pujian sesaat yang fana.
Menjadi hebat tanpa menyombongkan diri bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak untuk dilakukan. Dalam keheningan dan kesadaran akan nilai diri, kita menemukan kekuatan yang membentuk dunia yang lebih manusiawi dan berakar pada nilai-nilai sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI