Mohon tunggu...
Muhammad Mas Davit Herman R
Muhammad Mas Davit Herman R Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Fhisip, Ilmu Hukum Universitas Terbuka Surabaya

Sebagai Aktivis Ekonomi, Hukum dan Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ancaman Terhadap Independensi Lembaga Negara: Dampak Perubahan Aturan Pemecatan Pejabat MK, MA, dan KPK dalam Hukum Tata Negara Indonesia

12 Februari 2025   02:05 Diperbarui: 12 Februari 2025   02:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammad Mas Davit Herman Rudiyansah

(Mahasiswa Fhisip-Ilmu Hukum Universitas Terbuka Surabaya) 

Trias politica berasal dari bahasa Yunani yang berarti tiga kekuatan politik. Secara sederhana, konsep ini menggambarkan pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Tujuan dari trias politica adalah untuk mencegah kekuasaan negara menjadi absolut. Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Inggris, John Locke, dan kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dalam karyanya "L'esprit Des Lois" (The Spirit of Law), menjelaskan bahwa pembagian kekuasaan bukan untuk saling melemahkan, melainkan untuk memastikan bahwa setiap kekuasaan saling mengawasi dan menjaga keseimbangan. Sebaliknya, kekuasaan yang terbagi memiliki kedudukan yang setara, sehingga dapat saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (check and balances). Check and balance antara tiga pilar trias politica, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga harus didukung oleh penegakan hukum serta partisipasi warga sipil. Di negara-negara demokrasi yang lebih mapan seperti Australia, pemisahan antara ketiga kekuasaan ini tidak selalu terlihat secara jelas, namun mekanisme checks and balances tetap terjaga, terutama melalui tradisi protes yang kuat dan terorganisir. Di Indonesia, sebagai negara demokrasi, tantangannya justru terletak pada kurang berfungsinya trias politica, yang menghalangi tercapainya checks and balances yang optimal.


Pada sistem pemerintahan Republik Indonesia secara implisit, baik sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menerapkan konsep Trias Politica Montesquieu, namun penerapannya tidakabsolut. Dapat diketahui bahwa pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen ternyata tidak hanya Legislatif (MPR, DPR), Eksekutif (Presiden) dan Yudikatif (MA), namun selain dari 3 (tiga) fungsi tersebut, masih di bagi lagi yaitu ke dalam Kekuasaan Konsultatif (DPA) dan Kekuasaan Eksaminatif (BPK). Sedangkan setelah amandemen ternyata juga tidak hanya Legislatif (MPR, DPR, DPD), Eksekutif (Presiden) dan Yudikatif (MA, MK), namun masih di bagi lagi ke dalam Kekuasaan Eksaminatif (BPK).  Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang independen untuk menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

Di Indonesia, fungsi yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung berperan sebagai pengadilan kasasi atau pengadilan tertinggi, dengan salah satu tugas utamanya adalah menjaga keseragaman penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan di antaranya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain ketiga kekuasaan yang telah disebutkan, Indonesia juga memiliki kekuasaan eksaminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang berfungsi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara, yang dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Prinsip penerapan konsep trias politica di Indonesia terlihat belum sepenuhnya dijalankan secara optimal, karena lebih menekankan pada pembagian kekuasaan (distribution of power) dari pada pemisahan kekuasaan yang sebenarnya (separation of power).  Ketiga lembaga utama dalam pemerintahan saling terkait dan bekerja dengan prinsip checks and balances, yaitu pengawasan satu kekuasaan terhadap yang lain dalam kedudukan yang setara. Namun, dalam praktiknya, sering muncul berbagai permasalahan yang menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar kekuasaan, sehingga menimbulkan polemik yang berdampak pada ketidakstabilan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, hubungan antar kekuasaan ini masih sering mengalami goncangan, yang juga berimbas pada lembaga-lembaga independen seperti KPK, Komnas HAM, Komnas Anak, KPU, dan lainnya. Independensi lembaga-lembaga tersebut sangat penting untuk membatasi kekuasaan dan mendukung demokratisasi, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Namun, campur tangan dari kekuasaan-kekuasaan utama sering kali membuat integritas lembaga-lembaga independen ini dipertanyakan, padahal lembaga-lembaga ini dirancang untuk bekerja tanpa intervensi dari pihak manapun. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, lembaga independen di Indonesia masih kurang memiliki justifikasi yuridis yang kuat untuk memperkuat eksistensinya. Sampai saat ini, tidak ada undang-undang yang secara eksplisit mendefinisikan apa itu lembaga negara independen, sehingga lembaga-lembaga ini lebih rentan terhadap intervensi kekuasaan lain dan independensinya pun terganggu.  Ketidakjelasan status ini membuka peluang bagi kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif untuk mempengaruhi atau bahkan mengendalikan lembaga-lembaga tersebut, yang seharusnya bekerja secara mandiri. Dari intervensi kekuasaan lain yang masuk ke lembaga negara independen, pembagian kekuasaan perlu ditata ulang dengan menambahkan cabang keempat atau yang dikenal sebagai "fourth branch." Dengan demikian, lembaga negara independen akan memiliki kekuatan yang sejajar dengan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Diharapkan, kehadiran lembaga negara independen sebagai kekuasaan baru ini akan berkontribusi pada terciptanya pemerintahan yang baik atau good governance. Masyarakat pun akan memiliki kekuatan baru dengan adanya peran lembaga independen dalam infrastruktur politik dan birokrasi. Namun, jika cabang kekuasaan keempat ini benar-benar disahkan, perlu ada seleksi ketat untuk memastikan lembaga mana saja yang layak diakui kedaulatannya sebagai lembaga negara independen. Hal ini penting mengingat di Indonesia banyak lembaga baru yang dibentuk tanpa kajian mendalam, yang berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.  Saat ini, dengan adanya perubahan kepemimpinan dalam pemerintahan, muncul berbagai isu, salah satunya adalah Aturan yang memungkinkan DPR untuk memecat Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA) dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi topik hangat di berbagai media, memicu kekhawatiran dan diskusi terkait dampaknya terhadap hukum tata negara Indonesia. Dari sudut pandang hukum tata negara, aturan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang keseimbangan kekuasaan dan independensi lembaga-lembaga negara yang penting bagi keberlangsungan demokrasi. Menurut Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa dalam ilmu politik, konsep Negara Hukum (rechtsstaat) menegaskan bahwa kekuasaan dalam sebuah negara harus tunduk pada hukum, dan tidak boleh didasarkan pada keinginan pribadi para penguasa. Dengan kata lain, semua tindakan pemerintah dan penguasa harus sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga hukum menjadi dasar yang mengatur kekuasaan. Ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keadilan bagi semua warga negara.

Hakim MK, MA dan Pimpinan KPK adalah merupakan elemen penting dalam sistem pemerintahan yang harus dijaga independensinya. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menegaskan bahwa KPK termasuk dalam ranah eksekutif. Dalam putusan tersebut, hakim MK mempertimbangkan bahwa pada bagian "Menimbang" huruf b dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani kasus korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam pemberantasan korupsi. Putusan ini juga menjadi dasar hukum yang menjelaskan posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.  Secara hukum tata negara, lembaga ini tidak boleh berada di bawah tekanan atau intervensi dari cabang kekuasaan lain, terutama kekuasaan legislatif. Independensi mereka adalah jaminan bagi penegakan hukum yang adil, sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku. Namun, dengan adanya aturan yang memberi DPR kewenangan untuk memecat para pejabat di MK, MA dan KPK, muncul kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan. DPR sebagai perwakilan legislatif memang memiliki tugas pengawasan, tetapi pemberian kewenangan yang terlalu besar terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat lembaga independen dapat mengganggu prinsip checks and balances yang krusial dalam sistem demokrasi. Secara formal, kedudukan peraturan DPR RI berada di bawah Undang-Undang dan UUD NRI 1945, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 1, Pasal 8, serta Pasal 20A ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tata tertib DPR hanya mengatur dan bersifat mengikat secara internal di dalam parlemen. Parlemen tidak memiliki kewenangan untuk membuat tata tertib yang mengatur dan mengikat peraturan yang berada di atasnya. Dengan kata lain, tindakan DPR melanggar asas lex superior derogate legi inferiori.

Dampak terhadap hukum tata negara bisa sangat signifikan. pada independensi MK, MA dan KPK bisa terancam, karena ada potensi bahwa hakim dan pimpinan KPK akan bekerja di bawah tekanan politik, bukan berdasarkan hukum dan keadilan. Ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ini sebagai institusi penegak hukum yang adil dan tidak memihak. Dalam konteks hukum tata negara, hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang selama ini menjadi pilar penting dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pada peraturan ini juga berpotensi menciptakan preseden yang berbahaya, di mana legislatif dapat terlalu mendominasi kekuasaan. Dalam hukum tata negara, setiap cabang kekuasaan -- legislatif, eksekutif, dan yudikatif -- harus saling mengimbangi dan mengontrol, bukan saling mendominasi. Jika DPR memiliki kewenangan untuk memecat pejabat di lembaga-lembaga yang harusnya independen, keseimbangan kekuasaan ini bisa rusak, dan akan sulit bagi lembaga seperti MK dan KPK untuk menjalankan tugasnya dengan mandiri. Terakhir, aturan ini dapat berdampak buruk pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan berkurangnya independensi KPK, misalnya, upaya pemberantasan korupsi bisa menjadi kurang efektif karena intervensi politik yang berlebihan. Secara keseluruhan, aturan ini perlu dikaji ulang dalam konteks hukum tata negara untuk memastikan bahwa prinsip demokrasi, rule of law, dan independensi lembaga penegak hukum tetap terjaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun