Mohon tunggu...
MUHAMMAD MALIK NAHAR
MUHAMMAD MALIK NAHAR Mohon Tunggu... Student at Universitas Islam Indonesia

Memiliki hobi berlari, bersepeda. Suka menulis kalo malam turun hujan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menimbang Gagasan Fiqh Progresif dalam Merumuskan Keluarga Madani

10 April 2025   23:20 Diperbarui: 11 April 2025   13:57 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Civilised Family - www.vecteezy.com

Di tengah arus modernitas yang terus mendesak pembaruan dalam berbagai aspek kehidupan, wacana mengenai fiqh keluarga juga ikut dibawa ke meja diskusi. Salah satu bentuknya adalah gagasan tentang fiqh progresif yang diklaim lebih responsif terhadap tuntutan zaman, termasuk dalam membangun keluarga yang adil, setara, dan manusiawi. Gagasan ini diulas dalam artikel “Building Civilised Family Relations”, yang mengajukan pentingnya merumuskan ulang hukum keluarga Islam agar selaras dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sosial kontemporer.

Wacana semacam ini tentu tidak muncul tanpa alasan. Realitas menunjukkan bahwa praktik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ketimpangan peran antara suami dan istri masih menjadi persoalan serius di banyak keluarga Muslim. Maka, munculnya upaya untuk menggali pendekatan baru patut dihargai sebagai bentuk kepedulian terhadap problem nyata umat. Meski demikian, setiap gagasan yang menyentuh fondasi hukum Islam, apalagi persoalan fiqh yang berkaitan langsung dengan nash dan ijma’ ulama, sudah semestinya diuji dengan kritis dan kehati-hatian. Ketepatan dalam menempatkan syariat sebagai sumber hukum utama perlu dijadikan dasar dalam menjawab persoalan fiqh, bukan hanya dilihat dari aspek relevansi sosialnya semata. Sebab Al-Qur’an dan Sunnah telah memberikan landasan yang jelas atas segala persoalan dalam agama, termasuk panduan dalam membangun rumah tangga. Lalu Apakah kita betul-betul kekurangan solusi, atau justru belum cukup memahami atas apa yang sudah diajakran?

Antara Semangat Pembaruan dan Ketepatan Metodologi

Dalam artikel ini, penulis menyebut perlunya “ijtihad baru yang lebih kontekstual,” dan bahwa “realitas sosial harus menjadi dasar dalam menafsir ulang teks-teks normatif.” Pernyataan ini terdengar wajar dalam ruang akademik modern. Namun, perlu digarisbawahi bahwa ijtihad tidak bisa dilepaskan dari metode dan kaidahnya. Seorang yang mengklaim melakukan pembaruan dalam fiqh, harus terlebih dahulu memahami rambu-rambu yang telah digariskan oleh ilmu usul fiqh.

Seperti yang dikatakan oleh para ulama, al-fiqh wa ushuluhu wajhan li‘mlatin wahidah. yaitu, fiqh dan usul fiqh adalah dua sisi dari satu mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan kecuali untuk tujuan pembelajaran. Tanpa fondasi usul, seorang pembaharu hukum bisa tersesat dalam penarikan hukum, meskipun dia berangkat dari dalil yang benar secara tekstual. Begitu pula dalam konteks pembaruan fiqh keluarga hari ini. Mengangkat isu keadilan dan kesetaraan dalam rumah tangga adalah penting, namun metode membacanya juga harus melalui jalur istinbat yang valid. Ketika penulis artikel merujuk pada tokoh-tokoh seperti Amina Wadud dan Abdullah Saeed, yang dikenal seringkali menyusun argumen berdasarkan nilai-nilai modern (baca:liberalisme) seperti kesetaraan gender atau HAM, kita perlu memastikan, apakah pendekatan mereka dibangun di atas fondasi usul fiqh yang sahih, atau justru mengabaikannya demi menyesuaikan makna teks dengan pandangan zaman? Sebab, jika realitas yang menjadi hakim terhadap teks, maka akan sangat mudah bagi siapa pun untuk menyesuaikan agama dengan selera zaman.

Ilmu usul fiqh bukan sekadar alat teknis, tetapi neraca yang menjaga ketepatan dan keselamatan fatwa. Ia adalah seperti ilmu nahwu yang menjaga lisan dari kesalahan, sebagaimana usul menjaga mujtahid dari penyimpangan dalam istinbat. Oleh karena itu, mengutip tokoh kontemporer dalam diskusi hukum Islam seharusnya tidak cukup hanya karena popularitas atau gagasan segar yang mereka tawarkan, tetapi harus dilihat dari sejauh mana pendekatan mereka selaras dengan metodologi yang telah divalidasi para ulama sepanjang sejarah.

Dengan sikap seperti itu, kita bisa tetap membuka ruang diskusi dan kritik terhadap fiqh, tanpa terjebak pada semangat pembaruan yang lepas dari akarnya. Kritik tidak boleh menjadi alat untuk melemahkan pondasi syariat, tapi sebaliknya, harus menjadi jalan untuk memperkuat kesadaran akan pentingnya berilmu sebelum berpendapat.

Kesetaraan yang Melampaui Fitrah

Penulis tidak secara eksplisit menyebut ayat An-Nisa:34, tetapi dari konteks pembahasan terlihat bahwa ayat tentang kepemimpinan suami dalam rumah tangga menjadi sorotan. Dalam artikel tersebut muncul pandangan bahwa relasi keluarga seharusnya dibangun atas dasar kesetaraan mutlak, bahkan disebut sebagai bentuk "demokrasi rumah tangga". Sebuah istilah yang terdengar progresif, namun justru berpotensi mengaburkan batasan peran yang telah digariskan oleh syariat.

Islam membedakan peran antara suami dan istri, namun bukan berarti mendiskriminasi atau karena adanya superioritas salah satu pihak. Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga bukan karena laki-laki lebih mulia, tetapi karena ada tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Inilah yang disebut dengan “fitrah” atau ketetapan yang sudah Allah buat agar kita tetap berada dalam fitrah tersebut. Sebagaimana firman-Nya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Rum: 30).

Menafsir ulang peran ini atas nama kesetaraan justru berisiko mengaburkan batas yang sudah ditetapkan syariat. Kepemimpinan suami adalah amanah, bukan dominasi. Jika semua hal disamaratakan tanpa batas, maka yang muncul bukan keadilan, tapi kekacauan dalam struktur rumah tangga. Di sinilah pendekatan fiqh progresif perlu ditimbang ulang, agar tidak menyentuh sesuatu yang sudah ditetapkan Allah sebagai bagian dari keseimbangan ciptaan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun