Mohon tunggu...
Muhammad ArmanMalik
Muhammad ArmanMalik Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Integritas di Negara Mayoritas

4 Oktober 2025   10:00 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:53 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia saat ini. Lebih dari dua ratus jiwa menganut agama Islam, sehingga hal ini menjadi sebuah simbol identitas dalam pentas global. Islam sangat menjunjung tinggi nilai integritas, bahkan hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim menyebutkan kalau tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila diberi amanah ia berkhianat. Hal ini sudah sangat jelas menggambarkan betapa pentingnya sebuah integritas, apalagi kalau itu menyangkut persepsi akan aspek religius sebuah negara yang diakui dunia.

 Integritas sendiri adalah keselarasan antara nilai, ucapan, dan tindakan yang harus sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan ataupun sedang dilakukan. Tapi disinilah letak ironinya, dibalik status sebagai negara religius yang seharusnya menjunjung tinggi nilai integritas, Indonesia memberikan fakta yang sebaliknya, integritas di negara mayoritas ini hanyalah sebuah pajangan yang tidak dianggap, sebuah nilai spiritual yang seharusnya menjadi pegangan dalam bernegara tetapi realitanya hanyalah menjadi sebuah omongan belaka. Seberapa bobrok integritas di negara kita ini bisa terlihat dalam aspek yang paling mencolok yaitu korupsi.

Menurut laporan Corruption perseption Index Transparency International, skor Indonesia untuk tahun 2024 hanya 37 dari 100 dengan peringkat ke 99 dari 180 negara. Terdengar sebagai ironi tapi itulah yang terjadi, korupsi bukan hanya sekedar sebuah kegiatan kriminal tapi di Indonesia sendiri sudah selayaknya kebiasaan. Hal ini diperparah dengan kasus korupsi kuota haji, sebuah kasus yang menjadi bukti telanjangnya paradoks dari persepsi negara mayoritas yang diharapkan punya nilai integritas. Kasus ini memberikan kita sebuah fakta bahwa aspek nilai integritas seharusnya punya dampak langsung jika tidak kita realisasikan, dan menjadi sebuah ironi jika kasus korupsi ini terjadi di negara yang seharusnya menjunjung tinggi nilai integritas.

Kasus korupsi kuota haji memberikan gambaran kepada kita akan rapuhnya integritas di dalam badan penyelenggara negara. KPK pada pertengahan 2024 membuka penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Chalil Qoumas mengenai penyaluran kuota haji dari Arab Saudi. Hal ini menciptakan guncangan publik karena penyalahgunaan justru lahir dari ibadah yang paling sakral bagi umat muslim di Indonesia. Namun, ini bukanlah kali pertama terjadi, kasus serupa juga pernah muncul pada tahun 2014, dimana menteri agama saat itu Suryadharma Ali divonis hukuman 10 tahun penjara karena korupsi dana haji termasuk penyalahgunaan fasilitas serta penggelembungan biaya.

Masalah ini bukan lagi sekedar tentang pemangku kekuasaan yang salah arah, tetapi menunjukkan bagaimana rapuhnya sistem untuk menjaga amanah. Penyelenggaraan ibadah haji mencakup urusan administrasi, teknis finansial, hingga hubungan diplomasi dengan negara Arab Saudi. Ketika pelaksanaan itu diubah menjadi ajang untuk memperkaya segelintir orang, yang dikhianati bukan hanya hukum,tetapi juga umat yang mempercayakan tanggung jawabnya kepada negara. Hal ini membuka mata masyarakat bahwa terdapat krisis integritas dalam tatanan pemerintah.

Krisis integritas dari kasus korupsi kuota haji, menjadi sesuatu yang jelas ketika masyarakat berasumsi bahwa negara memandang amanah publik sebagai ruang untuk memperkaya diri, sehingga kepercayaan masyarakat menjadi sesuatu yang tidak akan bisa dikembalikan oleh pemerintah. Ironi juga hadir dari kasus ini, dimana Indonesia yang dikenal sebagai negara mayoritas muslim, pasti membuat orang lain berpikir bahwa nilai integritas adalah sebuah hal yang pasti ditemukan dan dilaksanakan dalam proses bernegara. Namun, pada praktiknya hanya menjadi sebuah slogan untuk membranding diri, dengan minimnya realisasi.

Korupsi dalam kasus kuota haji menyeret beberapa aspek seperti suap, penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi. Praktik ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menegaskan bahwa setiap tindakan yang memperkaya diri sendiri atau orang kain secara tidak sah adalah bentuk tindak pidana korupsi. Kasus korupsi kuota haji memperlihatkan celah transparansi dalam pengawasan dan akuntabilitas di sektor kementerian agama yang memungkinkan terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Selain itu survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 62% masyarakat tidak percaya terhadap pengelolaan kuota haji oleh pemerintah. Hal ini menggambarkan seberapa bobroknya pengelolaan kepentingan masyarakat dalam ranah pemerintah.

Untuk mengatasi masalah ini kita harus tau bahwa korupsi berakar dari kebiasaan yang sudah di normalisasi dari bawah oleh masyarakat, hal kecil seperti menyontek, prosedur SIM tembak yang marak dilakukan untuk memudahkan proses pembuatan sim,dan kebiasaan titip absen. Semua hal tadi terdengar remeh tapi itu merupakan bentuk dari rusaknya integritas dari aspek paling sederhana. Selain itu sebagai generasi yang melek dengan teknologi kita harus bisa berpartisipasi aktif untuk mengawasi proses penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi sehingga hukuman yang diberikan kepada pelaku setimpal dan kepercayaan masyarakat bisa tumbuh lagi.

Dari kasus korupsi kuota haji kita bisa melihat adanya cermin terhadap kontradiksi anggapan penegakkan integritas dalam negara yang selalu diagungkan sebagai negara mayoritas. Praktik yang sering hadir justru menunjukkan hal sebaliknya, kebiasaan korupsi yang mengakar dari sektor terkecil sampai ke sektor terbesar menunjukkan hampanya keberadaan integritas yang diharapkan ada. Oleh karena itu integritas tidak harus selalu berkaitan dengan iman tetapi bagaimana kesadaran setiap individu mampu memegang arti dari nilai kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun