Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Pesantren Jadi Komoditas: Media, Moralitas, dan Santri yang Diperolok

16 Oktober 2025   09:08 Diperbarui: 16 Oktober 2025   09:08 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang kemarahan publik terhadap Trans7 pasca tayangan Expose and Sensor berjudul "Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?", menjadi pelajaran penting. Di tengah derasnya arus digital, batas antara hiburan dan penghormatan kultural semakin kabur. Tayangan berdurasi delapan menit itu dianggap melecehkan tradisi santri dan mengolok-olok relasi suci antara kiai dan murid. Tagar #BoikotTrans7 pun membara di media sosial, menjadi ekspresi kultural dari rasa terluka.

Namun di balik gelombang protes itu, ada ruang refleksi yang perlu dibuka. Bukan hanya bagi pihak media, tapi juga bagi kalangan pesantren sendiri. Tayangan yang menyinggung itu pada dasarnya menjadi cermin. Cermin yang kasar, mungkin memantulkan bayangan yang tidak adil, tetapi tetap menunjukkan sesuatu yang penting, bagaimana pesantren kini dilihat oleh dunia luar.

Kita bisa menuduh Trans7 gegabah, lalai, atau bahkan tak berempati. Tapi di balik kemarahan itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar, sudahkah pesantren menyiapkan dirinya untuk hidup di dunia yang serba visual dan instan ini? Dunia yang menilai berdasarkan gambar, bukan makna. Dunia berdasarkan kesan, bukan kedalaman.

Dalam teori psikologi sosial, ada istilah mirror exposure effect. Sebuah situasi di mana kelompok sosial mulai memahami dirinya setelah melihat bagaimana pihak luar memandangnya. Reaksi keras dari pesantren terhadap tayangan Trans7 menunjukkan bahwa komunitas ini tengah mengalami benturan antara identitas lama dan dunia baru, antara kesunyian kitab kuning dan hiruk pikuk dunia digital.

Kadang yang menyinggung kita bukan orang luar, tapi cermin dari sikap kita sendiri yang belum siap tampil di hadapan dunia tanpa kehilangan jati diri.

Tradisi santri yang jongkok di depan kiai, mencium tangan, atau berebut berkah dari sisa minuman, memang tidak mudah dimengerti oleh masyarakat modern. Tapi justru di sinilah tantangan pesantren: bagaimana menerjemahkan simbol-simbol penghormatan itu agar dipahami tanpa kehilangan maknanya. Dunia luar tidak akan memahami adab jika pesantren sendiri tidak menjelaskannya.

Media bekerja dengan logika rating, kecepatan, dan visualisasi dramatis. Tapi pesantren hidup dengan logika ketenangan, kesabaran, dan kedalaman makna. Dua dunia ini sebenarnya bisa berdialog, asal keduanya bersedia saling belajar. Namun seringkali, pesantren menolak tampil, dan media datang tanpa memahami konteks. Maka yang lahir adalah potret yang salah kaprah.

Mungkin pesantren perlu bertanya, mengapa orang luar lebih banyak mengenal sisi eksotik pesantren daripada nilai-nilai kemanusiaannya? Mengapa kamera lebih tertarik pada adegan santri jongkok daripada semangat mereka belajar tanpa pamrih? Di sinilah pentingnya pesantren untuk mengambil peran aktif dalam membangun narasinya sendiri di ruang publik.

Introspeksi ini bukan berarti menyalahkan diri sendiri. Justru sebaliknya, ini ajakan agar pesantren tidak membiarkan dirinya dieksploitasi oleh logika hiburan. Pesantren mesti sadar bahwa nilai-nilainya kini sedang diuji di ruang publik yang keras. Ketulusan, penghormatan, dan pengabdian bisa kehilangan makna jika ditampilkan tanpa konteks spiritualnya.

Di titik ini, para kiai dan pengasuh pesantren memiliki tanggung jawab besar, menjaga kesakralan tradisi tanpa menutup diri dari perubahan. Santri boleh belajar digital, boleh aktif di media sosial, tapi harus memahami batas antara menampilkan dan menelanjangi budaya sendiri. Tidak semua hal yang sakral layak dijadikan konten.

Jika pesantren ingin dihormati, maka pesantren juga harus mengajarkan cara menghormati dirinya sendiri. Menghormati berarti mengemas nilai dengan cara yang bermartabat, menjelaskan makna dengan bahasa yang dapat dimengerti publik, tanpa kehilangan ruhnya. Dunia luar akan belajar, jika pesantren bersedia mengajar dengan rendah hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun