Indonesia adalah tim dengan semangat tinggi, tapi mudah kehilangan fokus. Tanpa pendekatan emosional dan kepemimpinan yang kuat, pemain kehilangan arah saat tertinggal. Hal itu terlihat jelas setelah Irak mencetak gol, maka tak ada tanda kebangkitan, hanya frustrasi yang makin menumpuk di detik-detik akhir pertandingan.
Secara manajerial, kegagalan ini seolah menjadi cermin dari gambling kebijakan yang dipilih PSSI atas merombak tim kepelatihan. Proyek naturalisasi besar-besaran tidak disertai dengan sistem integrasi yang matang. Para pemain Eropa datang dengan gaya dan kebiasaan berbeda, tapi tidak ada mekanisme adaptasi yang sistematis. Akibatnya, mereka bermain seperti "kolase individu", bukan tim yang kompak.
Dalam dunia profesional, seorang pelatih harus menjadi "arsitek tak terlihat", yang mampu membangun kohesi tim tanpa mengorbankan identitas permainan nasional. Kluivert, sejauh ini, gagal membangun itu. Ia terjebak dalam glorifikasi gaya Eropa yang sebenarnya tidak sepenuhnya cocok dengan DNA sepak bola Indonesia yang dinamis, improvisatif, dan emosional.
Perbandingan dengan era Shin Tae-yong tak bisa dihindari. Pelatih asal Korea Selatan itu tidak hanya membawa hasil, tapi juga membangun mental juang. Indonesia di bawahnya memang pernah dibantai oleh Irak, namun mampu menumbangkan Arab Saudi di pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Shin menanamkan rasa percaya diri kolektif, sedangkan Kluivert meski membawa aura bintang yang selalu menguasai pertandingan, namun tetap gagal menanamkan kemenangan.
Kekalahan ini bukan sekadar kehilangan tiga poin, tapi kehilangan momentum pembangunan sistemik. PSSI perlu berani melakukan evaluasi total, termasuk meninjau ulang parameter rekrutmen pelatih asing. Nama besar tidak selalu menjamin performa besar. Dunia sepak bola modern telah menunjukkan bahwa kesesuaian budaya dan visi jangka panjang lebih penting daripada sekadar prestise pelatih.
Kekalahan bukan akhir, melainkan cermin. Jika manajemen berani melihatnya dengan jujur, dari kekalahan inilah lahir generasi baru Garuda yang tahu siapa dirinya dan ke mana arah terbangnya.Â
Kini Indonesia harus menatap masa depan dengan realisme baru. Proyek naturalisasi dan modernisasi taktik harus disertai keberlanjutan sistem pelatihan usia muda, bukan sekadar "membeli prestasi instan". Talenta lokal harus kembali menjadi pondasi utama, diperkuat pemain diaspora, bukan sebaliknya.
Dunia sepak bola Indonesia membutuhkan pelatih yang bukan hanya memahami taktik, tetapi juga memahami manusia. Sosok yang bisa menyalakan kembali bara semangat, menyeimbangkan ego para pemain Eropa dengan etos pemain lokal, serta menanamkan kembali filosofi bermain yang mengekspresikan karakter bangsa, pantang menyerah dan kreatif.
Kekalahan 0-1 dari Irak memang menyakitkan, tapi ia juga bisa menjadi titik balik. Jika PSSI mau belajar dari kesalahan manajerial ini, maka masa depan sepak bola nasional masih terbuka. Namun jika tidak, Garuda akan terus terbang rendah di langit Asia. Terperangkap dalam ambisi besar tanpa arah yang jelas. Dan itu akan menjadi kegagalan paling mahal dalam sejarah sepak bola modern Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI