Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Manajemen Talenta atau Manajemen Pujian? Fenomena Sugar Coating di Dunia Kerja

8 Oktober 2025   20:34 Diperbarui: 8 Oktober 2025   20:34 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sugar coating di lingkungan kerja (Sumber: AI Chat GPT))

Di sebuah ruang kerja yang tampak damai, seseorang tengah menyusun kata dengan hati-hati. Ia bukan tengah menulis laporan penting, melainkan merangkai kalimat manis untuk menyenangkan atasan. Nada suaranya lembut, senyumnya tulus, atau setidaknya tampak demikian. Ia tahu, di kantor ini, kemampuan berbasa-basi bisa lebih menentukan nasib daripada kemampuan berpikir kritis. Fenomena inilah yang oleh banyak ahli psikologi industri disebut sugar coating behavior, atau kecenderungan untuk membungkus opini dan interaksi dengan lapisan manis demi kepentingan pribadi.

Sugar coating seringkali tidak disadari muncul dalam bentuk ringan. Memuji kinerja atasan tanpa alasan jelas, mengiyakan semua keputusan rapat walau hatinya menolak, hingga melontarkan kalimat basa-basi yang menyanjung di setiap kesempatan. Di satu sisi, sikap ini tampak sopan dan menjaga harmoni. Di sisi lain, ia bisa menjelma menjadi strategi manipulatif yang berakar pada rasa takut dan ambisi.

Di perusahaan multinasional sekalipun, di mana meritokrasi dan kinerja objektif dijunjung tinggi, sugar coating tetap hidup subur. Sebab, manusia bekerja bukan dalam ruang vakum rasional. Mereka hidup dalam sistem sosial, di mana penerimaan dan kedekatan emosional menjadi "mata uang" yang nilainya kadang lebih tinggi dari performa kerja itu sendiri.

Fenomena ini semakin menguat di era kerja modern yang sarat dengan ketidakpastian. Banyak karyawan merasa lebih aman "menyenangkan" daripada "menantang" atasan. Kata-kata yang lembut menjadi tameng, dan kejujuran dianggap risiko. Di balik senyum yang mengembang, sering tersembunyi rasa takut akan kehilangan kesempatan, posisi, atau pengakuan. Dalam perspektif psikologi humanistik, ini bukan hanya soal kepura-puraan, melainkan bentuk coping mechanism terhadap lingkungan kerja yang tidak selalu adil.

Kejujuran kadang terdengar pahit, tapi dari kepahitan itulah tumbuh rasa percaya yang sejati. Dunia kerja tak butuh lebih banyak gula, melainkan lebih banyak keberanian untuk berkata jujur.

Namun, sugar coating memiliki efek jangka panjang yang berbahaya bagi organisasi. Ia menciptakan ilusi harmoni, padahal yang tumbuh adalah stagnasi. Ketika semua orang terlalu manis dalam berbicara, tidak ada lagi ruang bagi kejujuran. Atasan kehilangan realitas, bawahan kehilangan integritas. Akibatnya, pengambilan keputusan menjadi bias, promosi tidak berdasarkan kinerja, dan budaya kerja menjadi rapuh oleh kepura-puraan yang menular.

Dalam riset psikologi industri, hal ini disebut sebagai toxic politeness atau kesopanan yang menyesatkan. Ia berbeda dari empati. Empati tulus memperhatikan perasaan orang lain, sementara toxic politeness berorientasi pada keuntungan diri sendiri. Orang-orang yang lihai dalam toxic politeness seringkali dipersepsikan sebagai "pintar membawa diri", padahal mereka sedang menciptakan ekosistem emosional yang tidak jujur.

Mari kita bayangkan satu adegan kecil di kantor. Seorang staf muda memberi masukan berbeda di rapat, tapi rekannya justru menengoknya tajam, seolah berkata "diam saja, jangan bikin suasana tidak enak di depan bos." Setelah rapat, sang staf mendapat komentar, "Kamu berani juga, ya. Tapi hati-hati, lho." Ini adalah bentuk tekanan sosial agar semua orang tetap "manis", sekalipun kebenaran harus dikorbankan di balik meja kerja.

Dalam situasi seperti ini, organisasi kehilangan satu hal penting, yaitu psychological safety. Sebuah rasa aman untuk berbicara jujur tanpa takut dikucilkan. Tanpa itu, inovasi akan mati perlahan. Sebab, ide-ide terbaik sering lahir dari keberanian berkata tidak, bukan dari kata-kata manis yang disulam untuk menyenangkan hati orang lain. Kantor yang dipenuhi sugar coating adalah kantor yang sedang kehilangan suara jujur dari dalam.

Tentu, tidak ada yang salah dengan bersikap ramah. Ramah adalah bentuk kemanusiaan, sedangkan sugar coating adalah bentuk manipulasi. Perbedaan keduanya terletak pada niat. Ramah datang dari empati, sementara sugar coating tumbuh dari strategi bertahan. Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional, mengetahui kapan harus berkata lembut, dan kapan harus berani jujur tanpa harus kehilangan sopan santun.

Dalam konteks manajemen talenta, para pemimpin seharusnya justru menghargai kejujuran yang konstruktif. Pemimpin yang hanya ingin mendengar pujian akan dikelilingi oleh gema kebohongan. Tetapi pemimpin yang memberi ruang pada masukan kritis akan dikelilingi oleh inovasi. Karena di balik kejujuran, selalu ada rasa peduli, dan itu yang menjadi fondasi sejati dari budaya organisasi yang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun