Israel mungkin unggul di medan perang, tetapi sejarah membuktikan diplomasi kolektif mampu menjatuhkan arogansi kekuatan militer. Qatar kini menjadi simbol bahwa perlawanan sejati lahir bukan dari senjata, melainkan dari solidaritas dan legitimasi global.Â
Dalam teori diplomasi bebas-aktif, pengakuan internasional terhadap Palestina adalah bentuk intervensi damai, mendorong terciptanya keseimbangan baru. Israel bisa saja menang dalam aspek militer, tetapi di ranah diplomatik, ia kian tersudut. Serangan ke Qatar hanya memperburuk citra Israel sebagai aktor yang mengabaikan norma global.
Serangan ini sekaligus menjadi pengingat penting bagi negara-negara Teluk, termasuk Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, bahwa pertahanan nasional tidak bisa hanya bertumpu pada alutsista. Pertahanan nasional modern menuntut kemampuan membangun koalisi politik, kepercayaan publik internasional, dan kekuatan diplomasi yang mampu menekan lawan tanpa harus menembakkan peluru.
Ke depan, dunia akan menyaksikan apakah Qatar benar-benar mampu memimpin respons kolektif terhadap Israel. Jika berhasil, hal ini akan menjadi contoh nyata bagaimana diplomasi bebas-aktif yang dikombinasikan dengan konsep pertahanan nasional modern mampu menghadirkan daya tawar tanpa harus mengandalkan kekuatan militer.
Namun, jika komunitas internasional gagal menanggapi, kita akan menyaksikan runtuhnya norma paling mendasar, bahwa kedaulatan negara bisa dilanggar dengan dalih keamanan. Dunia akan kehilangan pijakan, dan diplomasi modern akan kehilangan relevansinya. Maka, serangan Israel ke Qatar bukan hanya tragedi kawasan, tetapi juga ujian serius bagi tatanan internasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI