Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ronda Malam, Modal Sosial Sebagai Tameng Keamanan Masyarakat

10 September 2025   21:49 Diperbarui: 10 September 2025   21:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, sistem keamanan lingkungan (siskamling) kerap dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang memiliki tradisi sosial berbasis kekerabatan dan gotong royong, ronda malam tidak sekadar mekanisme menjaga keamanan. Ia adalah sebuah ritual sosial yang menyatukan warga, menguatkan kohesi sosial, dan membentuk solidaritas kolektif.

Dari perspektif sosiologi mile Durkheim, siskamling dapat dibaca sebagai "fakta sosial" yang memelihara keteraturan. Ronda malam bukan hanya aktivitas praktis mencegah maling atau tindak kriminal, tetapi juga simbol bahwa masyarakat sanggup mengorganisir diri tanpa sepenuhnya bergantung pada aparat. Solidaritas mekanik yang lahir dari kesamaan pengalaman berjaga di malam hari membuat masyarakat merasa saling terhubung.

Namun, dalam kenyataan sehari-hari, banyak lingkungan perumahan yang kini lebih memilih membayar iuran keamanan. Satpam dianggap sebagai solusi instan. Masyarakat pun merasa cukup berkontribusi dengan nominal uang bulanan. Padahal, di sinilah paradoks itu muncul. Keamanan diprivatisasi, sementara ruang interaksi sosial antarwarga berkurang. Siskamling sebagai arena sosial mulai tergeser.

Menurut teori modal sosial Robert Putnam, interaksi dalam ronda malam adalah investasi sosial. Ketika warga bergiliran berjaga, mereka membangun trust, menciptakan jaringan, dan membiasakan norma kolektif. Modal sosial inilah yang tidak bisa dibeli hanya dengan gaji satpam. Di titik ini, keamanan menjadi lebih dari sekadar bebas gangguan, melainkan terciptanya keakraban sosial.

Bayangkan suasana di pos ronda, terdapat tikar digelar, kopi panas mengepul, obrolan ngalor-ngidul mengalir. Ada tawa yang pecah ketika cerita-cerita lucu dilontarkan. Di sisi lain, ada ketegangan ketika suara mencurigakan terdengar di kejauhan. Kombinasi humor dan kewaspadaan itulah yang membuat ronda malam unik, sekaligus menjadi medium belajar sosial yang kaya.

Keamanan bukan hanya soal pagar tinggi atau satpam beruniform, tetapi rasa saling menjaga. Ronda malam adalah wujud nyata bahwa solidaritas warga jauh lebih kuat daripada sekadar sistem keamanan formal.

Ronda malam juga merupakan bentuk kontrol sosial informal. Teori kontrol sosial Travis Hirschi menyebutkan bahwa keterikatan dan keterlibatan dalam aktivitas kolektif mengurangi potensi penyimpangan. Saat warga aktif berjaga, potensi kriminal pun menurun, bukan hanya karena patroli fisik, melainkan karena kehadiran simbolik warga yang peduli terhadap lingkungannya.

Selain itu, praktik siskamling menyimpan dimensi budaya yang kuat. Tradisi "jaga kampung" atau "ronda" adalah warisan dari masyarakat agraris Nusantara, di mana keamanan adalah urusan bersama, bukan monopoli negara. Tradisi ini menegaskan bahwa keamanan adalah hasil dari partisipasi, bukan semata produk institusi formal.

Cerita-cerita di lapangan memperlihatkan betapa kaya dinamika sosial dalam ronda. Ada kisah lucu, warga yang ketiduran saat jaga, hanya terbangun ketika sirene motor lewat. Ada pula kisah heroik, kawanan pencuri berhasil dihalau karena ronda yang sigap. Narasi-narasi inilah yang membentuk mitologi lokal, diwariskan turun-temurun, menjadi identitas kolektif warga.

Dalam perspektif Erving Goffman, ronda malam bisa dilihat sebagai panggung sosial (social stage). Pos ronda adalah panggung tempat warga memainkan peran sosial mereka. Ada yang jadi komandan, ada yang jadi penghibur, ada pula yang diam-diam menjadi pengamat. Semua memainkan perannya dalam sebuah drama sosial yang menjaga kohesi komunitas.

Jika ditarik ke konteks urban modern, siskamling menghadapi tantangan besar. Individualisme dan gaya hidup metropolitan membuat warga lebih memilih kenyamanan privat. Ruang komunal seperti pos ronda dianggap kurang relevan. Namun, di balik itu, meningkatnya kriminalitas perkotaan justru menegaskan kebutuhan akan kehadiran mekanisme keamanan berbasis komunitas.

Sosiologi modern melihat bahwa keamanan bukan hanya urusan struktural, tetapi juga kultural. Keamanan akan kuat jika warga memiliki rasa memiliki (sense of belonging) terhadap lingkungannya. Ronda adalah cara paling konkret untuk menumbuhkan rasa memiliki itu: dengan kehadiran fisik, interaksi, dan tanggung jawab bersama.

Siskamling adalah panggung sosial tempat warga belajar demokrasi, kebersamaan, dan kepedulian. Dari tawa hingga ketegangan malam, lahirlah rasa aman yang tumbuh karena dijaga bersama. 

Lebih jauh, siskamling juga menjadi ajang pendidikan kewargaan. Di sinilah nilai-nilai demokrasi lokal dijalankan, giliran jaga dibagi adil, keputusan ronda diambil musyawarah, dan tanggung jawab dibagi rata. Ini sejalan dengan teori Habermas tentang ruang publik, di mana warga berinteraksi dalam komunikasi rasional tanpa dominasi.

Kita seringkali lupa bahwa keamanan sejatinya adalah hasil dari keterlibatan sosial, bukan hanya fasilitas teknis. CCTV, portal, atau satpam hanyalah instrumen tambahan. Hal yang utama adalah kesediaan warga saling menjaga. Ronda, dalam bentuk sederhana sekalipun, mengembalikan manusia pada peran sosialnya. Makhluk kolektif yang tak bisa hidup sendiri.

Dalam konteks Indonesia, revitalisasi siskamling penting dilakukan, bukan untuk menolak modernisasi, melainkan untuk mengintegrasikannya. Pos ronda bisa dipadukan dengan teknologi digital, sistem informasi warga, hingga koordinasi cepat via aplikasi. Dengan demikian, nilai-nilai lama tentang gotong royong dapat bertransformasi mengikuti zaman.

Akhirnya, siskamling adalah wajah lain dari masyarakat Indonesia yang masih menyimpan semangat kohesi sosial. Ronda malam, meski sederhana, adalah manifestasi bahwa keamanan adalah produk dari solidaritas. Ia menyatukan warga dalam tawa, tegang, dan rasa aman yang dibangun bersama. Sebuah warisan budaya yang layak dirawat sebagai fondasi keamanan sosial di era modern.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun