Dalam dunia olahraga, terutama badminton, tidak ada kemenangan yang abadi, dan tidak ada dominasi yang selamanya. Kekalahan Anthony Sinisuka Ginting di Hong Kong Open 2025 Super 500 dari Christo Popov asal Prancis bukan hanya kisah pertandingan tiga gim ketat. Lebih dari itu, hasil ini bisa dibaca sebagai alarm keras bagi manajemen bulutangkis Indonesia. Sudah saatnya regenerasi dilakukan secara serius.
Di Hong Kong Coliseum, Kowloon, Rabu (10/9), Ginting sempat mengawali pertandingan dengan penuh determinasi. Gim pertama yang ditutup 21-19 lewat dorongan bola yang gagal dikembalikan Popov menunjukkan kualitas serangan cepat dan kelincahan khas Ginting. Namun, kualitas itu tidak konsisten. Gim kedua berbalik arah, diwarnai lob melebar dan unforced error yang menjadi santapan Popov untuk unggul 21-17.
Drama sesungguhnya terjadi di gim ketiga. Ginting yang sempat unggul jauh 7-1 terlihat percaya diri. Sayangnya, momentum cepat itu tidak dijaga dengan ketenangan. Popov bangkit, membalikkan keadaan hingga memimpin 10-8 saat interval. Skor 19-18 sempat menghidupkan harapan, tapi dua kesalahan di poin krusial membuat Ginting harus tersingkir dengan skor 21-19.
Kekalahan ini bukan sekadar angka. Ginting, yang dulu menjadi salah satu ikon generasi emas bersama Jonatan Christie, kini mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan performa di momen-momen penentu. Ironisnya, justru "mati sendiri" yang kerap membayangi gaya permainannya, menandakan beban mental yang tak lagi sekuat dulu.
Bila ditarik lebih jauh, pertemuan Ginting dengan keluarga Popov, baik Christo maupun Toma Junior Popov, menggambarkan pola baru badminton dunia. Negara-negara non-tradisional seperti Prancis kini mampu melahirkan pemain elite, hasil dari investasi jangka panjang pada pembinaan pemain muda. Sementara Indonesia masih bergantung pada nama-nama lama yang kini performanya mulai fluktuatif.
Setiap kekalahan adalah pintu pembelajaran. Ginting boleh tumbang, tapi dari kekalahan itu lahir peluang bagi generasi muda untuk mengambil alih panggung. Regenerasi bukan ancaman, melainkan harapan baru bagi kejayaan badminton Indonesia di masa depan.
Dalam kacamata manajemen olahraga, hal ini menjadi pertanda mendesak bagi PBSI dan klub-klub besar di Tanah Air. Regenerasi tidak bisa lagi sekadar jargon, tetapi harus menjadi strategi terukur. Ginting dan Jonatan tidak akan selamanya berdiri di puncak. Tanpa suplai pemain muda dengan stamina prima, daya juang baru, dan mental segar, Indonesia berisiko kehilangan statusnya sebagai kekuatan utama dunia.
Kekalahan di babak 32 besar ini harus dilihat sebagai momen refleksi. Sehebat apa pun Ginting, usia emas atlet tunggal putra jarang bertahan panjang. Regenerasi berarti memberikan ruang bagi nama-nama muda untuk tampil di ajang besar, meski dengan risiko trial and error. Justru dari kegagalan-kegagalan awal, mental juara akan ditempa.
Sayangnya, pola pembinaan di Indonesia masih sering mengandalkan pemain "langganan" untuk menjaga ranking dunia, tanpa memberi kesempatan kompetitif yang cukup kepada generasi baru. Hal ini berbanding terbalik dengan model Eropa, di mana pemain muda berani dilempar ke ajang elite, sekalipun harus menerima kekalahan di awal.
Performa Ginting yang naik-turun sebenarnya mencerminkan beban mental. Saat unggul 7-1 di gim ketiga, ia seakan berada di atas angin, namun kehilangan konsentrasi membuat momentum berbalik cepat. Kesalahan di poin kritis yang seharusnya menjadi domain pemain berpengalaman, justru menghantui. Ini menunjukkan perlunya pendekatan sport psychology lebih mendalam bagi pemain Indonesia.
Selain itu, regenerasi tidak hanya soal usia. Ini juga tentang gaya permainan. Ginting dikenal dengan speed dan kelincahan, namun gaya itu butuh stamina luar biasa. Pemain muda bisa membawa warna baru, yaitu agresivitas pukulan, variasi serangan, dan daya jelajah yang lebih segar. Kombinasi gaya lama dan baru bisa melahirkan ekosistem permainan yang lebih dinamis.