Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dosen Meneliti dengan Uang Sendiri, Realita Pahit Dunia Kampus

20 Mei 2025   09:58 Diperbarui: 20 Mei 2025   09:58 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rung kuliah yang ditinggalkan dosen dan mahasiswa (Sumber: istockphoto/maxim zhuravlev)

Dosen adalah garda depan peradaban ilmu pengetahuan. Namun, di balik gelar akademik dan sederet publikasi ilmiah, terdapat fakta yang memprihatinkan, yaitu gaji dosen justru banyak terkuras untuk membiayai penelitian. Ironisnya, pengeluaran pribadi ini terjadi agar mereka tetap memenuhi kewajiban administrasi yang melekat pada jabatan fungsional dan mempertahankan tunjangan profesi.

Dalam survei yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap 36 dosen di 23 provinsi, terungkap bahwa 52,8 persen dosen perguruan tinggi negeri (PTN) pernah menomboki biaya penelitian (Kompas, 20/5/2025). Ini bukan anekdotal belaka, melainkan pola struktural yang menunjukkan kegagalan sistem dalam mendukung kerja akademik yang bermutu.

Rata-rata dana yang dihabiskan per penelitian mencapai Rp 44,18 juta, dengan kontribusi pribadi dosen berkisar dari 5 hingga 100 persen dari total biaya. Artinya, seorang dosen dapat mengeluarkan hingga Rp 3,8 juta dari kocek pribadinya untuk penelitian yang, pada dasarnya, merupakan kewajiban institusional negara.

Mengapa hal ini terjadi? Dari perspektif policy analysis, ini merupakan implikasi langsung dari kebijakan pembiayaan pendidikan tinggi yang tidak berpihak pada kesejahteraan pelaku utamanya: dosen. Model performance-based budgeting yang tidak disertai dukungan sumber daya memadai justru menciptakan distorsi dan beban finansial baru bagi individu dosen.

Masalah ini menjadi lebih kompleks karena dalam sistem penilaian angka kredit dosen, penelitian menyumbang hampir separuh dari total bobot penilaian. Dengan demikian, dosen yang tidak mampu melaksanakan penelitian terancam stagnasi karier dan kehilangan tunjangan profesi. Ini menciptakan policy trap antara kewajiban administratif dan ketidakcukupan insentif struktural.

Ketika gaji tak cukup untuk meneliti, dosen tetap melangkah. Bukan demi angka kredit semata, tetapi karena percaya bahwa ilmu yang lahir dari perjuangan adalah cahaya bagi masa depan bangsa. 

Tidak hanya itu, komponen biaya penelitian yang paling membebani adalah publikasi ilmiah, terutama jurnal internasional bereputasi. Sekitar 30,6 persen dosen menyebut biaya publikasi sebagai pengeluaran terbesar, disusul biaya perjalanan, alat kerja, dan sumber daya manusia. Sistem pendanaan penelitian saat ini belum responsif terhadap rincian kebutuhan nyata di lapangan.

Data dari laman Scimago Journal & Country Rank menunjukkan bahwa jumlah dokumen ilmiah asal Indonesia melonjak dari 8.651 pada 2015 menjadi 64.596 pada 2024. Namun, peningkatan kuantitas ini tidak sejalan dengan kualitas. Sitasi per dokumen justru anjlok dari 15,9 menjadi hanya 0,5 dalam periode yang sama. Ini adalah indikasi klasik dari output inflation dalam sistem insentif birokratis.

Dalam teori finansial akademik modern, investasi dalam riset seharusnya berorientasi pada return on impact, bukan sekadar jumlah produksi. Sitasi rendah menandakan bahwa publikasi yang dihasilkan cenderung tidak berdampak, karena dilakukan semata-mata untuk memenuhi kewajiban administratif, bukan lahir dari proses penelitian yang bermutu.

Meningkatnya jumlah jurnal yang masuk kuartil Q1 (10,8 persen dari total jurnal di Scopus tahun 2024) memang patut diapresiasi. Namun, tanpa disertai daya dukung sistemik yang memadai, baik berupa insentif, pelatihan metodologis, maupun kebijakan afirmatif, maka angka-angka ini bisa menjadi ilusi kemajuan yang semu.

Indonesia, dalam hal ini, menghadapi fenomena publish or perish versi lokal yang lebih getir, yaitu publish and perish financially. Dosen yang ingin survive secara akademik harus rela berkorban secara finansial. Padahal, dalam sistem pendidikan tinggi yang sehat, produktivitas akademik seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun