Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpustakaan 24 Jam, Ruang Ilmu Tanpa Batas untuk Peradaban Baru

7 Mei 2025   11:00 Diperbarui: 7 Mei 2025   10:41 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Perpustakaan Millet Kutuphanesi di Turki buka layanan 24 jam (Sumber: muhammadiyah.or.id)

Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, untuk memperpanjang jam operasional perpustakaan dan museum hingga malam hari bahkan 24 jam, adalah langkah monumental dalam sejarah kebudayaan urban Indonesia. Di balik keputusan administratif ini tersembunyi visi besar untuk membangun Jakarta sebagai kota yang meletakkan literasi dan budaya sebagai pusat kemajuan peradaban. Ini bukan hanya soal jam buka perpustakaan, tapi juga soal siapa kita sebagai bangsa dan ke mana kita hendak melangkah.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) sebagai institusi penyimpan memori kolektif bangsa, selama ini telah menjadi episentrum kegiatan literasi dan pengetahuan. Namun, operasionalnya yang terbatas antara pukul 08.00 hingga 16.00 jelas membatasi akses publik, terutama mereka yang hanya memiliki waktu luang di malam hari. Membuka Perpusnas hingga pukul 22.00 atau bahkan 24 jam akan merevolusi relasi publik dengan ilmu pengetahuan.

Teori peningkatan literasi mengajarkan kita bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan kapasitas untuk mengakses, mengevaluasi, dan merefleksikan informasi secara kritis. Akses terhadap perpustakaan selama 24 jam memberi ruang bagi masyarakat, khususnya bagi pelajar, mahasiswa, dan pekerja untuk mengembangkan keterampilan literasi informasi secara lebih leluasa dan mandiri.

Perpustakaan yang buka 24 jam bukan sekadar ruang baca, tapi penanda bahwa sebuah bangsa tak pernah tidur dalam membangun pikirannya. Di sinilah cahaya peradaban menyala tanpa henti, memberi harapan bagi mereka yang mencari ilmu di tengah malam sunyi.

Lebih dari itu, teori produksi kebudayaan menyatakan bahwa budaya tidak hanya diciptakan oleh elite intelektual atau lembaga formal, tetapi juga oleh partisipasi masyarakat luas dalam mencipta, menyimpan, dan menyebarluaskan pengetahuan. Perpustakaan adalah medan produksi budaya, tempat gagasan dipertukarkan, ditantang, dan dikembangkan. Dengan buka 24 jam, ruang produksi ini menjadi lebih inklusif dan demokratis.

Contoh dari berbagai belahan dunia menunjukkan keberhasilan model perpustakaan 24 jam. Millet Ktphanesi di Turki menjadi simbol nasionalisme literasi, dan Butler Library di Columbia University adalah tempat para mahasiswa dan peneliti dunia membentuk pemikiran-pemikiran revolusioner. Perpustakaan Kota Beijing dengan ruang bacanya yang terkenal dengan  Luyunzhu dan perpustakaan Kyung Hee University di Korea Selatan juga telah menjadi ikon kota dan bangsa mereka. Jakarta layak menjadi bagian dari peta global itu.

Masyarakat urban modern tidak lagi hidup dalam kerangka waktu kerja konvensional. Pola kerja shift, gaya hidup malam, hingga kebutuhan akan ruang belajar yang fleksibel membuat perpustakaan 24 jam menjadi kebutuhan nyata. Ini adalah bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial yang tidak bisa dihindari dan mencerminkan pemerintah yang responsif terhadap realitas warganya.

Secara legal dan normatif, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan telah mengamanatkan bahwa perpustakaan harus mengembangkan layanan sesuai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, kebijakan memperpanjang jam operasional bahkan sampai 24 jam justru merupakan bentuk aktualisasi dari amanat tersebut, bukan sekadar terobosan eksperimental.

Pembukaan perpustakaan hingga malam atau bahkan sepanjang hari tidak hanya soal layanan fisik. Ini membuka ruang untuk pelibatan komunitas literasi, diskusi malam hari, pementasan seni sastra, peluncuran buku hingga klub baca lintas generasi. Artinya, perpustakaan menjadi ruang hidup, bukan lagi ruang sunyi penuh rak buku. Ia menjadi nadi kebudayaan.

Dari perspektif pembangunan manusia, perpustakaan 24 jam dapat menjadi alat pengurang kesenjangan literasi antar kelompok sosial. Pelajar dari keluarga prasejahtera yang tidak memiliki ruang belajar nyaman di rumah akan sangat terbantu. Ini juga mendukung visi pendidikan inklusif dan berkeadilan. Lebih jauh, perpustakaan bukan hanya tentang membaca buku, melainkan juga proses membentuk identitas dan memperkuat memori kolektif bangsa. Dengan membuka akses sepanjang waktu, negara menunjukkan komitmennya terhadap pelestarian pengetahuan dan penyebaran nilai-nilai kebangsaan.

Dalam konteks geopolitik kebudayaan, Indonesia yang memiliki kekayaan manuskrip, arsip, dan literatur lokal harus menjadikan perpustakaan sebagai tempat diplomasi budaya. Perpusnas 24 jam bisa menjadi magnet kunjungan wisatawan budaya, peneliti luar negeri, hingga pusat residensi penulis dan kurator budaya dari berbagai negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun