Dalam senyapnya ruang kerja dosen, tersimpan tekad yang tak ternilai, yaitu meneliti dengan biaya sendiri demi ilmu yang tak berhenti mengabdi.Â
Kebijakan ideal seharusnya bertumpu pada tiga pilar utama, meliputi sustainability atau keberlanjutan pendanaan, accountability atau pertanggungjawaban output, dan empowerment atau pemberdayaan aktor utama, yakni dosen dan peneliti. Selama dosen masih membiayai risetnya sendiri, ketiga prinsip ini belum berjalan dengan baik dalam kebijakan riset nasional.
Tentu ada program pendanaan dari Kemendikbudristek dan LLDIKTI. Namun, mekanisme kompetisinya seringkali tidak ramah bagi dosen muda atau mereka yang berada di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Akses terbatas ini justru memperkuat kesenjangan antar institusi dan mendorong praktik swadaya sebagai jalan pintas.
Kini saatnya pergeseran paradigma dilakukan. Penelitian dosen tidak boleh hanya dilihat sebagai beban administratif, melainkan sebagai investasi strategis negara dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Untuk itu, perlu kebijakan afirmatif, pendanaan riset yang proporsional, serta penghargaan yang adil terhadap karya ilmiah yang berkualitas.
Jika negara ingin pendidikan tinggi Indonesia menjadi pemain global yang disegani, maka sudah waktunya dosen tidak lagi disuruh "berjuang sendiri". Mendukung mereka dengan sistem pembiayaan riset yang adil dan berkelanjutan adalah kunci utama. Sebab tanpa itu, gairah ilmiah yang ada bisa berubah menjadi keputusasaan akademik yang membeku dalam birokrasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI