Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Sarjana Kena PHK, Lulusan SMP Diterima Kerja: Paradoks Dunia Kerja Modern

15 Mei 2025   05:40 Diperbarui: 15 Mei 2025   13:43 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian para pencari kerja di gedung Smesco Jakarta (Sumber: kompas.id)

Dalam beberapa bulan terakhir, ada satu pertanyaan yang kerap saya temui saat berbicara dengan mahasiswa, pelaku industri, maupun rekan sesama akademisi, mengapa justru lulusan perguruan tinggi yang paling rentan kehilangan pekerjaan di tengah perlambatan ekonomi? Bukankah seharusnya pendidikan tinggi menjadi benteng terakhir dalam menghadapi gejolak pasar tenaga kerja?

Laporan Indonesia Economic Outlook Q2-2025 yang dirilis LPEM Universitas Indonesia menunjukkan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, yang diperkirakan hanya tumbuh 4,5--5 persen menurut PIER, memang berdampak besar terhadap pasar kerja. Namun, yang menarik dan ironis, dampak terburuk justru dirasakan oleh kelompok berpendidikan menengah dan tinggi.

Mengapa ini terjadi? Mari kita bedah pelan-pelan. Ekonomi yang melambat artinya dunia usaha menahan ekspansi. Investasi ditunda, lini produksi direm, dan rekrutmen pegawai baru menjadi langka.

Dalam kondisi seperti ini, efisiensi menjadi kata kunci. Perusahaan lebih memilih pekerja fleksibel yang mudah dilatih ulang dan siap ditempatkan di mana saja.

Masalahnya, lulusan perguruan tinggi apalagi yang sudah bertitel magister atau doktor, seringkali tidak mudah "dibentuk ulang".

Mereka datang ke pasar kerja dengan ekspektasi tinggi, preferensi pekerjaan yang spesifik, dan tuntutan gaji yang menyesuaikan pendidikan mereka. Ini membuat mereka kalah cepat dalam kompetisi yang lebih pragmatis.

Data BPS Februari 2025 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan diploma IV dan ke atas mencapai 13,89 persen. Angka ini naik dari 12,12 persen pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, TPT bagi lulusan SD ke bawah malah lebih stabil, bahkan cenderung turun di beberapa sektor informal. Fenomena ini sebenarnya bukan baru. 

Saat krisis finansial Asia 1997-1998 dan krisis global 2008, pola yang sama muncul. Mereka yang bekerja di sektor pertanian dan informal, meskipun pendapatannya minim, lebih tahan banting saat badai ekonomi datang. Sementara pekerja formal dengan gaji tetap dan posisi struktural justru lebih berisiko terkena PHK.

Kita perlu jujur melihat bahwa pasar kerja Indonesia masih dominan oleh pekerjaan yang bersifat low-skilled dan informal. Ketika ekonomi menurun, justru sektor jasa bernilai tambah rendah yang tumbuh, seperti kurir, pengemudi ojek daring, hingga pedagang kecil. Lapangan kerja ini tidak banyak membutuhkan ijazah, hanya keterampilan dan kemauan untuk bekerja.

Jadi, kalau kita menyalahkan pendidikan tinggi karena tidak menciptakan "pekerja siap pakai", itu terlalu menyederhanakan masalah.

Persoalannya adalah ketidaksesuaian antara struktur pendidikan tinggi kita dengan kebutuhan pasar kerja yang sebenarnya. Kita menghasilkan banyak sarjana ekonomi, hukum, atau manajemen, tapi kebutuhan lapangan justru pada teknisi, operator mesin, atau analis data.

Saya melihat bahwa banyak mahasiswa tidak diajarkan untuk membangun fleksibilitas keahlian. Mereka terlalu fokus pada jalur karier ideal, ari lulus lalu kerja kantoran dan naik jabatan. Padahal dunia kerja hari ini menuntut orang yang bisa belajar cepat, lintas bidang, dan siap berpindah profesi bila perlu.

Inilah yang disebut sebagai survival skill gap. Bukan sekadar skill teknis, tapi kemampuan adaptasi yang justru lebih banyak ditempa di sektor informal atau wirausaha kecil.

Bukan berarti pendidikan tinggi tidak penting, tapi sudah waktunya kampus-kampus di Indonesia mendesain ulang kurikulum mereka agar lebih lentur dan aplikatif.

Pemerintah pun tak bisa tinggal diam. Program vokasi harus dipercepat dan diperluas. Alih-alih hanya berfokus pada peningkatan angka partisipasi kuliah, penting juga mendorong jalur pendidikan alternatif seperti pelatihan keterampilan, sertifikasi industri, dan magang yang betul-betul menyentuh kebutuhan riil dunia usaha.

Kita juga perlu menyadari bahwa kebijakan ketenagakerjaan tidak boleh semata fokus pada penciptaan lapangan kerja baru, tetapi juga pada reskilling dan upskilling pekerja yang terkena dampak PHK. Tanpa ini, angka pengangguran terdidik akan terus membengkak dari waktu ke waktu.

Tidak ada yang salah dengan mengejar gelar akademis. Tapi kita harus mengubah cara pandang bahwa gelar bukan jaminan pekerjaan, melainkan modal untuk terus belajar, berganti arah, dan menjawab tantangan baru.

Dunia kerja hari ini bukan tempat bagi mereka yang sekadar pandai, tapi bagi mereka yang tahan banting dan mudah beradaptasi.

Krisis selalu menyisakan pelajaran penting. Salah satu pelajaran terbesar tahun ini adalah "kecerdasan akademik" saja tidak cukup untuk bertahan di pasar kerja. Butuh keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan kesediaan untuk bekerja di luar bidang studi---asal halal dan bermanfaat.

Jadi, kalau hari ini Anda seorang sarjana yang belum bekerja, jangan kecil hati. Mungkin pekerjaan impian itu belum ada, tapi ada banyak pintu rezeki lain yang bisa diketuk.

Bekali diri dengan keahlian baru, buka mata pada peluang kecil, dan jadilah pekerja yang tidak hanya pintar, tapi juga lentur dan tangguh. Karena di dunia kerja masa kini, bukan siapa yang paling hebat yang bertahan, tapi siapa yang paling bisa menyesuaikan diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun