Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mundurnya 714 Dosen CPNS: Momentum Desain Ulang Penempatan Berbasis Talenta

16 April 2025   12:59 Diperbarui: 16 April 2025   16:57 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang perkuliahan kosong karena ketiadaan dosen (Sumber: sci.ui.id)

Dalam dunia birokrasi, angka tidak pernah berdusta. Ketika 714 dosen CPNS 2024 mengundurkan diri usai dinyatakan lulus seleksi, publik bukan hanya dikejutkan oleh nominal, melainkan juga oleh pesan yang tersirat. Ada yang tidak sedang baik-baik saja dalam sistem pengelolaan ASN pendidikan tinggi.

Menurut Sekjen Kemendiktisaintek, Togar Mangihut Simatupang (Kompas, 15 April 2025), 653 orang mengundurkan diri secara resmi dan 61 lainnya tidak mengisi daftar riwayat hidup.

Artinya, lebih dari tujuh ratus individu muda berpendidikan tinggi memilih untuk tidak melanjutkan karier sebagai aparatur sipil negara, padahal telah melalui seleksi yang ketat. Pertanyaannya, mengapa?

Alasan yang paling banyak disebutkan adalah penempatan kerja yang tidak sesuai harapan. Ini bukan isu baru.

Tapi ketika fenomena ini muncul dalam skala besar dan menyasar profesi dosen, sesuatu yang selama ini dipandang sebagai benteng moral dan intelektual bangsa, maka ini perlu dikaji lebih dalam. Pemerintah tak cukup hanya mencatat mundurnya mereka, tapi harus melakukan introspeksi sistemik.

Jika kita gunakan kerangka good governance policy, maka jelas ada masalah pada prinsip responsiveness dan effectiveness. Pemerintah belum benar-benar merespons kebutuhan personal dan profesional dari para dosen muda ini. Formasi CPNS seringkali dirancang secara top-down, tanpa mendengar aspirasi dari kelompok sasaran yang dituju.

Sementara dari sisi efficiency, mundurnya 714 CPNS dosen adalah kerugian besar. Proses seleksi yang panjang dan mahal menjadi sia-sia. Negara telah menginvestasikan waktu, tenaga, dan anggaran, tetapi gagal mengamankan SDM yang telah dinyatakan lulus. Ini adalah pemborosan administratif sekaligus kegagalan manajemen talenta.

Ketika ratusan dosen muda memilih mundur setelah lulus CPNS, yang perlu ditinjau bukan hanya mereka, tetapi sistem yang gagal merangkul harapan dan masa depan mereka. 

Dalam konteks pengembangan SDM modern, kita mengenal prinsip fit and grow. Setiap individu akan berkembang maksimal ketika berada di tempat yang sesuai dengan potensi, nilai, dan tujuan hidupnya.

Ketika penempatan dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor psikologis dan sosial kultural, maka akan muncul resistensi yang tinggi, bahkan penolakan total.

Lebih jauh lagi, generasi muda hari ini tidak hanya bekerja demi gaji. Mereka mencari makna, pertumbuhan, fleksibilitas, dan keadilan sosial.

Ketika penempatan CPNS memaksa mereka untuk tinggal jauh dari keluarga tanpa dukungan ekosistem yang memadai, maka mereka memilih keluar sekalipun sudah lulus dengan susah payah.

Kondisi ini harus dibaca bukan sebagai bentuk "kecengengan" generasi muda, tapi sebagai sinyal kuat perlunya transformasi kebijakan rekrutmen ASN. 

Harus ada reformulasi pendekatan, dari rekrutmen berbasis angka formasi menjadi rekrutmen berbasis pembangunan SDM berkelanjutan dan bersifat holistik.

Solusi strategis yang bisa dilakukan antara lain adalah menerapkan sistem preferensi penempatan berbasis skoring lokasi. Peserta seleksi dapat memilih tiga lokasi penempatan prioritas yang diolah dengan sistem merit berdasarkan kebutuhan institusi. Dengan begitu, pemerintah tetap bisa menjaga prinsip pemerataan, sekaligus menghormati pilihan rasional individu.

Kedua, perlu adanya insentif afirmatif untuk lokasi terpencil atau 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Misalnya melalui program fast-track ASN, skema pelatihan khusus, tunjangan keluarga, dan penjaminan karier yang terukur. Sehingga pengabdian di daerah bukan lagi hukuman, tetapi peluang akselerasi karier.

Ketiga, Kemendiktisaintek bisa mengembangkan program hybrid pengabdian. Dosen CPNS dapat mengabdi di daerah selama satu atau dua tahun, lalu diberikan hak untuk berpindah berdasarkan kinerja dan kebutuhan nasional. Ini memberikan ruang kompromi antara kebutuhan institusi dan aspirasi individu.

Negara yang gagal mempertahankan talenta pendidikannya akan membayar mahal, bukan hanya dalam angka statistik, tapi dalam hilangnya generasi masa depan. 

Selain itu, sistem penempatan dosen perlu memanfaatkan big data dan pemetaan minat-bakat secara digital. Setiap peserta bisa diidentifikasi preferensi lokasi, bidang keahlian, hingga rekam jejak akademik, lalu disesuaikan dengan kebutuhan PTN atau PTS yang benar-benar sepadan. Sistem ini sudah lumrah dalam rekrutmen korporasi global, dan sangat mungkin diadopsi pemerintah.

Kita juga perlu menyadari bahwa penguatan kualitas SDM dosen tidak cukup hanya melalui rekrutmen. Perlu ada career development pathway yang jelas. 

Dosen muda butuh mentor, pelatihan lanjutan, jenjang karier transparan, serta iklim akademik yang mendorong inovasi. Jika ini tidak dipenuhi, maka ASN dosen akan menjadi karier stagnan dan kurang bergairah.

Fenomena mundurnya 714 dosen CPNS ini, secara tidak langsung, adalah refleksi rendahnya daya tarik profesi dosen sebagai ASN di mata generasi baru. Sebuah sinyal bahwa kita perlu membenahi bukan hanya sistem rekrutmen, tetapi keseluruhan arsitektur pengelolaan ASN pendidikan tinggi.

Kita tidak bisa membangun Indonesia Emas 2045 jika SDM unggul justru menjauh dari sistem negara. Pemerintah perlu mulai bergerak dari model manajemen ASN gaya lama menuju human capital governance yang adaptif, partisipatif, dan berorientasi pada retensi talenta.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa kebijakan publik tidak bisa dibangun hanya dengan niat baik dan angka statistik. Ia harus dibangun dengan empati, data yang tajam, serta desain institusi yang memberi ruang tumbuh bagi manusia. Dosen bukan hanya pegawai, mereka adalah penjaga masa depan bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun