Lebih jauh lagi, generasi muda hari ini tidak hanya bekerja demi gaji. Mereka mencari makna, pertumbuhan, fleksibilitas, dan keadilan sosial.
Ketika penempatan CPNS memaksa mereka untuk tinggal jauh dari keluarga tanpa dukungan ekosistem yang memadai, maka mereka memilih keluar sekalipun sudah lulus dengan susah payah.
Kondisi ini harus dibaca bukan sebagai bentuk "kecengengan" generasi muda, tapi sebagai sinyal kuat perlunya transformasi kebijakan rekrutmen ASN.Â
Harus ada reformulasi pendekatan, dari rekrutmen berbasis angka formasi menjadi rekrutmen berbasis pembangunan SDM berkelanjutan dan bersifat holistik.
Solusi strategis yang bisa dilakukan antara lain adalah menerapkan sistem preferensi penempatan berbasis skoring lokasi. Peserta seleksi dapat memilih tiga lokasi penempatan prioritas yang diolah dengan sistem merit berdasarkan kebutuhan institusi. Dengan begitu, pemerintah tetap bisa menjaga prinsip pemerataan, sekaligus menghormati pilihan rasional individu.
Kedua, perlu adanya insentif afirmatif untuk lokasi terpencil atau 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Misalnya melalui program fast-track ASN, skema pelatihan khusus, tunjangan keluarga, dan penjaminan karier yang terukur. Sehingga pengabdian di daerah bukan lagi hukuman, tetapi peluang akselerasi karier.
Ketiga, Kemendiktisaintek bisa mengembangkan program hybrid pengabdian. Dosen CPNS dapat mengabdi di daerah selama satu atau dua tahun, lalu diberikan hak untuk berpindah berdasarkan kinerja dan kebutuhan nasional. Ini memberikan ruang kompromi antara kebutuhan institusi dan aspirasi individu.
Negara yang gagal mempertahankan talenta pendidikannya akan membayar mahal, bukan hanya dalam angka statistik, tapi dalam hilangnya generasi masa depan.Â
Selain itu, sistem penempatan dosen perlu memanfaatkan big data dan pemetaan minat-bakat secara digital. Setiap peserta bisa diidentifikasi preferensi lokasi, bidang keahlian, hingga rekam jejak akademik, lalu disesuaikan dengan kebutuhan PTN atau PTS yang benar-benar sepadan. Sistem ini sudah lumrah dalam rekrutmen korporasi global, dan sangat mungkin diadopsi pemerintah.
Kita juga perlu menyadari bahwa penguatan kualitas SDM dosen tidak cukup hanya melalui rekrutmen. Perlu ada career development pathway yang jelas.Â
Dosen muda butuh mentor, pelatihan lanjutan, jenjang karier transparan, serta iklim akademik yang mendorong inovasi. Jika ini tidak dipenuhi, maka ASN dosen akan menjadi karier stagnan dan kurang bergairah.