Ramadan dan Lebaran selalu identik dengan berbagi. Indonesia, yang dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia, punya tradisi memberi yang luar biasa. Dari sekadar bagi-bagi takjil gratis di jalan sampai donasi miliaran rupiah untuk kemanusiaan. Tapi ada satu sisi gelap yang bikin risih, yaitu premanisme berkedok sumbangan.Â
Menjelang Lebaran, banyak pelaku usaha, baik perusahaan besar maupun UMKM menjadi sasaran para preman yang "menagih" THR ala mereka sendiri.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun, cerita tentang kelompok-kelompok tertentu yang meminta "uang jatah" beredar di media sosial. Modusnya beragam, mulai dari alasan "jaga keamanan" sampai "sumbangan untuk warga sekitar". Padahal dalam praktiknya, permintaan ini lebih condong ke pemerasan. Kalau nggak dikasih? Siap-siap usaha diganggu, barang dagangan diacak-acak, atau ada intimidasi terselubung.
Uniknya, banyak dari mereka yang terlibat premanisme THR ini justru anak-anak muda. Generasi Z, yang mestinya dikenal kreatif dan inovatif, malah ada yang terjebak dalam pola lama, yaitu mengandalkan ketakutan untuk mendapatkan uang.Â
Ini ironis, mengingat akses peluang ekonomi buat Gen Z jauh lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Internet, media sosial, dan tren ekonomi digital mestinya bisa jadi jalan buat mereka cari cuan tanpa harus jadi preman.
Kenapa fenomena ini masih ada? Salah satunya adalah mentalitas instan. Daripada kerja keras, mereka memilih jalan pintas dengan memanfaatkan ketakutan orang lain. Ditambah lagi, ada kultur permisif yang menganggap hal ini 'biasa saja' atau 'tradisi tahunan'.Â
Beberapa pengusaha bahkan memilih untuk membayar daripada ribut, karena nggak mau repot atau takut bisnisnya kena imbas. Padahal, kalau dipikir-pikir, budaya filantropi di Indonesia tuh luar biasa. Orang Indonesia senang berbagi, asal caranya baik dan tidak ada unsur paksaan. Lihat saja platform donasi online yang selalu kebanjiran dana dalam hitungan jam kalau ada isu kemanusiaan. Artinya, kalau premanisme THR ini diubah jadi gerakan sosial yang positif, hasilnya bisa lebih baik dan lebih bermartabat.
Misalnya, gimana kalau kelompok-kelompok ini bikin event sosial beneran? Mereka bisa ngajak UMKM kerja sama dalam program berbagi, bukan malah menekan mereka. Atau, kalau butuh uang tambahan menjelang Lebaran, banyak kok peluang kerja sementara yang halal. Dari jadi kurir dadakan, jualan online, sampai freelance di berbagai platform digital. Mau lebih serius? Ikut pelatihan skill digital gratis yang makin banyak tersedia.
Generasi Z itu harusnya jadi generasi perubahan. Masa sih mau terus-terusan ikut pola lama yang justru merugikan orang lain? Kalau terus-terusan begini, yang rugi bukan cuma pelaku usaha, tapi juga mereka sendiri. Nama baik rusak, potensi diri nggak berkembang, dan masa depan jadi suram.