Dalam lanskap perfilman modern, The Brutalist muncul sebagai sebuah karya yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menggugah secara emosional dan intelektual. Film ini, yang menjadi salah satu nominator kuat dalam kategori Best Picture, menghadirkan sebuah narasi epik tentang perjalanan imigrasi, asimilasi, dan pengorbanan manusia dalam mencari tempatnya di dunia baru.
Disutradarai dengan presisi artistik, The Brutalist mengikuti kisah Lszl Tth, seorang arsitek Bauhaus yang melarikan diri dari bayang-bayang Holocaust di Budapest menuju kesempatan baru di Pennsylvania. Di sana, ia bertemu keluarga Van Buren, keluarga kaya yang menawarkan sumber daya melimpah untuk membangun kembali hidup dan kariernya. Namun, yang tersaji dalam film ini bukan hanya kisah tentang keberhasilan seorang imigran, melainkan juga perenungan mendalam tentang harga yang harus dibayar untuk bertahan di tengah ketidakpastian dan ekspektasi lingkungan baru.
Salah satu aspek yang menjadikan The Brutalist begitu kuat adalah bagaimana ia menangkap esensi imigran dan asimilasi yang dialami oleh banyak individu di berbagai profesi. Lszl, sebagai seorang arsitek warga Hongaria berdarah Yahudi, bukan hanya membangun gedung-gedung monumental, tetapi juga harus membangun identitas barunya di dunia yang tidak selalu ramah bagi orang luar. Lszl tinggal di Pennsylvania, tempat keluarga Harrison Lee Van Buren dan para industrialis kaya bermukim. Film ini mengangkat pertanyaan mendasar, sejauhmana seseorang harus mengorbankan idealismenya demi bertahan dan diterima?
Setiap bangunan yang megah berdiri di atas fondasi pengorbanan, begitu pula identitas seorang imigran yang harus bertahan di tanah asingÂ
Keindahan film ini terletak pada bagaimana ia menggabungkan bahasa sinema dengan elemen arsitektur. Gaya visualnya yang minimalis, simetris, dan dingin mencerminkan estetika The Brutalist itu sendiri, yaitu sebuah gaya yang mencerminkan keterbukaan, ketegasan, dan kadang-kadang, isolasi. Dengan penggunaan cahaya dan bayangan yang kontras, film ini memperlihatkan bagaimana Lszl harus menghadapi pertarungan batinnya di antara nostalgia dan realitas baru yang menuntut adaptasi tanpa batas.
Melampaui Narasi Konvensional
The Brutalist bukanlah film imigran biasa. Ia tidak hanya bercerita tentang seorang tokoh yang mencari kesempatan baru, tetapi juga menggali kompleksitas hubungan kekuasaan antara si pemberi dan si penerima. Dalam hal ini, keluarga Van Buren berperan sebagai cerminan masyarakat penerima yang seringkali memiliki agenda tersembunyi dalam menawarkan bantuan. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan sejauhmana seseorang bisa benar-benar bebas ketika ia terikat oleh janji dan bantuan dari mereka yang lebih berkuasa.
Dalam dunia yang menuntut asimilasi, pertanyaannya bukan lagi tentang apa yang bisa kita bangun, tetapi seberapa banyak dari diri kita yang harus dikorbankan untuk membangunnya.
Tema ini juga relevan dengan kondisi sosial politik kontemporer, di mana banyak individu berbakat di berbagai bidang menghadapi tantangan yang sama seperti Lszl. Baik dalam dunia seni, teknologi, maupun akademisi, tekanan untuk beradaptasi dengan budaya dan sistem yang sudah mapan sering kali mengorbankan identitas asli seseorang.
Secara sinematografi, The Brutalist menawarkan pendekatan visual yang inovatif dan berani. Penggunaan palet warna yang redup dan komposisi gambar yang terstruktur menghadirkan atmosfer yang sesuai dengan tema film, yaitu ketidakpastian dan perjuangan. Setiap bingkai dalam film ini dirancang dengan detail yang mengingatkan pada prinsip desain brutalist yang tegas dan lugas. Ini menjadikan film ini tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebuah pengalaman estetika yang mendalam.
Dari segi narasi, The Brutalist berhasil mengangkat kompleksitas psikologis karakternya dengan sangat mendalam. Lszl Tth bukan sekadar karakter imigran yang mencari kehidupan baru, ia adalah simbol dari dilema universal tentang identitas dan kompromi. Karakterisasi yang kuat ini diperkuat oleh akting luar biasa yang membuat setiap adegan terasa nyata dan penuh emosi. Selain itu, film ini juga unggul dalam penyutradaraan. Dengan tempo yang tepat, penggunaan flashback yang efektif, serta dialog yang penuh makna, The Brutalist membangun ketegangan emosional yang terus berkembang. Setiap keputusan visual dan naratif terasa memiliki tujuan yang jelas, membuat film ini tetap menarik sepanjang durasinya.