Mohon tunggu...
muhammad isra arafah
muhammad isra arafah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa program studi komunikasi dan penyiaran islam di IAIN Parepare

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sitaan Rp11,8 Triliun: Ujian Transparansi di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

24 Juni 2025   09:45 Diperbarui: 24 Juni 2025   08:38 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sitaan Rp11,8 Triliun: Ujian Transparansi di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

Besarnya angka Rp11,8 triliun yang disita Kejaksaan Agung bukan hanya mengejutkan, tapi juga menggambarkan kedalaman kerusakan sistemik yang mungkin telah berlangsung bertahun-tahun. Sitaan ini berasal dari kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Bangka Belitung—salah satu komoditas strategis nasional yang selama ini diduga telah menjadi "lahan basah" bagi segelintir elite ekonomi dan politik. Namun di balik angka fantastis itu, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah penegakan hukum ini dibawa, dan bagaimana pemerintah mengomunikasikan prosesnya ke publik?

Dalam konteks komunikasi politik, transparansi bukan sekadar membuka data. Ia harus mampu menjawab tiga hal penting: siapa pelakunya, bagaimana prosesnya, dan apa bentuk pertanggungjawabannya. Sayangnya, komunikasi penegakan hukum di Indonesia sering kali berhenti pada ekspose media. Masyarakat hanya disuguhi tumpukan uang tunai dan pernyataan pejabat yang bersifat deklaratif, tanpa didampingi skema pengembalian kerugian negara yang jelas, atau peta jalan reformasi tata kelola yang sistemik.

Krisis kepercayaan terhadap lembaga negara muncul bukan karena kurangnya penindakan, tapi karena publik kerap dibiarkan berada di ruang ketidakpastian. Mereka bertanya-tanya: apakah uang ini benar-benar akan dikembalikan ke kas negara? Apakah pelaku utama akan dihukum tuntas, atau hanya berhenti pada pelaku lapangan? Apakah sistem akan dibenahi, atau ini sekadar "panggung sesaat" menjelang momentum politik tertentu?

Di tengah derasnya arus informasi, opini publik membentuk kekuatan baru. Rakyat kini tak hanya menonton, tapi juga merekam, membandingkan, bahkan mengarsipkan rekam jejak lembaga hukum. Jika tidak hati-hati, respons publik terhadap kasus ini bisa berbalik menjadi sinisme kolektif—di mana setiap penindakan dianggap pencitraan, dan setiap gebrakan hukum dipersepsikan sebagai selektif.

Transparansi harus bersifat menyeluruh: mulai dari kronologi kasus, proses hukum yang terbuka, penyitaan aset yang diaudit independen, hingga pemanfaatan hasil sitaan secara akuntabel. Pemerintah perlu mengkomunikasikan langkah-langkah ini secara sistematis dan mudah dipahami publik. Jangan sampai gunungan uang Rp11,8 triliun ini hanya menjadi simbol, bukan solusi.

Lebih dari sekadar penindakan, masyarakat butuh narasi yang utuh. Narasi bahwa hukum bukan hanya alat represi, tapi juga medium pemulihan keadilan. Narasi bahwa negara berpihak kepada korban korupsi sesungguhnya: rakyat.

Dalam era digital seperti sekarang, ruang publik telah melebar dan ekspektasi publik terhadap keterbukaan makin tinggi. Jika tidak dikelola dengan pendekatan komunikasi yang jujur, humanis, dan konsisten, maka sitaan Rp11,8 triliun ini bisa berbalik menjadi bumerang kepercayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun