Mohon tunggu...
Of Silence I Am
Of Silence I Am Mohon Tunggu... Penulis sunyi yang berpikir dalam keheningan. Memadukan filsafat, sastra, dan keresahan eksistensial dalam tulisan reflektif.

Saya adalah penulis reflektif yang sedang membangun sebuah pemikiran filsafat pribadi bernama Silentisme Dialektis—sebuah jalan sunyi yang mempertemukan struktur historis, kesadaran eksistensial, dan wahyu transenden dalam dialektika yang jernih. Saya menulis karena berpikir, dan berpikir karena merasa dunia terlalu bising untuk didiamkan tanpa makna. Topik yang saya tulis: Filsafat hidup & eksistensialisme Kritik sosial & struktur kekuasaan Spiritualitas reflektif Puisi & prosa sunyi Hobi saya: Menulis di tempat sepi Ngopi hitam sambil baca Camus atau Al-Ghazali Main game survival atau roleplay filosofis Mengamati absurditas di tengah keramaian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Prolog : Silentisme Dialektis - Sunyi Sebagai Ruang Dialektika

10 Juli 2025   19:32 Diperbarui: 10 Juli 2025   19:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Prolog -- Silentisme Dialektis

Dunia dewasa ini begitu bising, ramai, penuh tuntutan, tapi kosong. Ini terlihat dari keramaian individu di berbagai tempat, seperti kafe, konser, bahkan tempat kerja. Ada yang dipenuhi oleh kegaduhan nan heboh, canda-tawa, atau kerja -- namun tak jarang diliputi kehampaan. Begitu pula sistem yang menuntut individunya supaya berpestasi, sukses, meraih banyak hal -- yang ternyata tak memberi makna, justru menambah beban kekosongan dan kelelahan. Sistem ini bisa berupa institusi maupun non-institusi. Kemudian, orang kebaanyakan di zaman ini sering tenggelam dalam rutinitas -- tapi kehilangan makna. Apa yang terbiasa dilakukan bukan berdasarkan tumpuan makna, namun sebatas otomatisasi tanpa kesadaran. Dari semua itu, kita tahu satu hal : ada ledakan yang dibalut dalam tubuh ketenangan. Ledakan yang tak bersuara, tak gaduh, tak heboh, tapi terasa dalam setiap individu yang lelah. Ledakan yang pertama kali dirasakan oleh eksistensi masing-masing individu. Dua hal yang nampaknya saling bertentangan ini -- yakni keresahan batin akan makna & topeng ketenangan yang dipaksakan entitas di luarnya -- kini bertatap muka dalam ruang keheningan. Ya, keheningan bukan pelarian, tapi satu-satunya tempat berpikir jernih barangkali, Dimana masalah diangkat, dibahas, direnungkan, dicari titik temu dan kemungkinan solusinya untuk ditindaklanjuti. Aku menjadikan hening sebagai mitra bagi masalah zaman ini : Dimana tiga hal yang dianggap tak bisa selaras justru kami rangkul. Aku tidak puas dengan stoikisme yang terlalu pasif : membagi sesuatu kedalam dua kategori, yang bisa dikendalikan & yang tidak. Filsafat ini mengajarkan seseorang untuk benar-benar Bahagia secara batin dengan fokus berorientasi dan memperjuangkan hal-hal yang dapat dikendalikan. Sementara yang berada di luar kendali bagi mereka tak perlu dirisaukan. Tapi jika demikian etika yang dianut seseorang, bisa jadi nanti dirinya tertinggal atau bahkan dicampakkan oleh materi, histori. Karena dirinya fokus pada hal yang dapat dikendalikan saja. Sementara tak jarang banyak hal material seperti struktur sosial kebanyakan berada di luar kendalinya. Jika struktur itu menindasnya bagaimana? Karena ia menganut stoikisme, mungkin ia tidak akan peduli. Tapi aku juga merasa tidak cukup dengan marxisme yang hanya menekankan pentingnya penerapan materialisme-historis. Memang paham ini membuat penganutnya begitu progresif, namun mungkin lambat-laun dirinya pun akan merasakan kekeringan makna. Ia terlalu menitikberatkan kenyataan pada hal yang bisa diindra, dan bisa diubah oleh yang bisa diindra pula. Padahal manusia adalah makhluk yang sadar bahwa suatu saat dirinya akan mati -- yang mana membuatnya mempertanyakan makna dibalik rangkaian hidupnya, eksistensinya di atas bumi. Memang tak dapat disangkal bahwa manusia tercipta di tengah dunia yang begitu bebas -- kita dapat merasakan ketidakterbatasan Tindakan yang dapat dan mungkin kita lakukan, namun kita tidak mampu menemukan makna di dunia yang tampaknya hening dari makna. Sebab itulah, aku tidak rela hidup di tengah absurditas -- karena manusia pun sebenranya tak mampu bertahan di dalamnya, ia harus menemukan sebuah alasan -- setidaknya satu alasan kecil -- untuk membuatnya bisa dapat memilih bertahan. Maka kita perlu berkomitmen pada entitas metafisik yang tidak memiliki keterbatasan -- beda halnya dengan manusia yang fana. Entitas ini mampu memberi hidup manusia arah, tujuan, makna. Ia melampaui nalar kita yang terbatas dan relatif. Tapi perlu dicatat, bahwa kita dapat menerima metasubjek ini apabila kita punya komitmen iman. Jadi, sunyi bagiku bukan sebatas diam yang pasif, melainkan dialog tanpa suara antara ketiga hal yang dalam sejarah filsafat kita dahulu berdiri di atas kakinya masing-masing. Dalam keheningan penuh refleksi inilah ketiganya saling berdialektika. Struktur, kesadaran, dan wahyu saling melengkapi dan Tarik-menarik, bukan bertentangan. Terlalu mementingkan satu hal dari lainnya hanya akan menimbulkan ketimpangan. Inilah jalan yang kutempuh, sebuah gagasan yang kusebut "Silentisme Dialektis".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun