Starbucks mencoba menenangkan publik: mereka akan merenovasi gerai, menambah teknologi baru, dan menjanjikan pesangon layak. Namun, di balik janji itu ada pertanyaan besar: apakah efisiensi bisa mengimbangi rasa kehilangan pekerja?
Jika terjadi di Indonesia...
Sekilas, kisah ini terasa jauh. Tapi bayangkan: di Indonesia ada lebih dari 30 juta orang yang bekerja di sektor ritel dan makanan-minuman. Jika 10--20% pekerjaan rutin mereka hilang karena otomatisasi, artinya jutaan orang terancam kehilangan nafkah.
Dr. Bima Santosa, pakar ekonomi digital dari UI, memberi peringatan: "Masalah di Indonesia bukan hanya soal hilangnya pekerjaan, tapi soal kesenjangan keterampilan. Banyak pekerja kita belum siap beralih ke pekerjaan digital. Jika tidak ada intervensi besar-besaran dalam pendidikan vokasi dan pelatihan, gelombang PHK massal bisa jadi bencana sosial."
Seorang kasir minimarket di Jakarta juga sempat berujar, "Saya sudah lihat mesin kasir otomatis di beberapa gerai. Kadang saya takut, apa besok pekerjaan saya masih ada?"
Pelajaran penting
Dari Walmart dan Starbucks, kita belajar bahwa PHK bukan sekadar angka. Ada wajah, ada keluarga, ada cerita manusia di baliknya. Namun, ada juga jalan keluar.
- Reskilling dan pelatihan adalah keharusan, bukan pilihan.
- Kolaborasi antara pemerintah, kampus, dan dunia usaha harus segera nyata.
- Human touch: empati, kreativitas, komunikasi tetap bernilai, bahkan di tengah lautan algoritma.
Menatap ke depan
AI memang datang seperti gelombang besar. Tidak bisa ditahan, tidak bisa dilawan. Tapi seperti peselancar, kita bisa memilih: tenggelam oleh ombak, atau belajar berdiri di atasnya.
Karena pada akhirnya, mesin hanya bisa menghitung. Yang bisa memberi makna, itulah manusia.
Catatan Penulis