Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melawan Toleransi—Mencermati Toleransi

6 Juli 2012   10:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:14 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi

Negara Indonesia terkenal dengan sebutan Negara demokrasi, lebih-lebih saat ini—kita dikhayalkan pada pernyataan bahwa demokrasi Indonesia merupakan demokrasi yang ideal. Fakta Negara Indonesia dengan jumlah penduduk hampir mencapai 300 juta jiwa ditambah dengan banyaknya kebudayaan dan ras yang ada di Indonesia seakan-akan mensyaratkan pertumbuhan demokrasi yang ideal sebagai modal untuk kesatuan dan kemajuan bangsa. Heterogenitas agama dan berbagai macam paham, kelompok maupun perkumpulan dalam masyarakat, menambah dinamika sosial Indonesia menjadi lebih bervariasi. Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi bangsa besar ini untuk lebih menata kehidupan bermasyarakat.

Kemunculan berbagai macam kelompok dan paham baru setelah era reformasi menunjukkan perubahan paradigma yang ada pada masyarakat, dari paradigma yang dulunya masih diselimuti dengan ketakutan dan keterkekangan menjadi paradigma kebebasan dalam berpikir dan berapresiasi. Sebagai bangsa yang katanya mendapatkan kemerdekaan sejak tahun 1945, perubahan ini tentunya berimplikasi pada munculnya perbedaan paham yang sangat mencolok serta pola komunikasi yang ada ditataran masyarakat. Saat ini, pendapat, aspirasi, atau mungkin yang bersifat “curhatan” sudah sangat sering kita dengarkan dari masyarakat Indonesia sendiri yang berkaitan tentang berbagai macam cerita atau paham yang diyakini masing-masing.

Implikasi selanjutnya yang paling popular saat ini adalah perdebatan pada dimensi yang tidak menyentuh hal esensi dari suatu masalah, sampai timbul pro dan kontra yang sebenarnya tak patut dibicarakan. Tidak melihat suatu permasalahn secara komprehensif dan inti suatu masalah akan menimbulkan pertentangan yang meruncing—muncullah toleransi dalam bentuk kongkalikong, dimana sesuatu yang seharusnya salah menjadi suatu kebenaran yang dipaksakan, yang memiliki kekuasaan, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk kedudukan akan mudah memanfaatkan yang tidak memiliki keduanya. Secara sederhana saat ini telah terbentuk pekerjaan politik sentris, dimana masalah agama, adat, ekonomi, terlebih-lebih masalah hukum dan moneter telah bertransformasi menjadi masalah politis.

Apa yang telah dituliskan oleh Ahmad Wahib dalam buku Catatan Seorang Demonstran yaitu “Banyak sekali tulisan-tulisan tentang politik, termasuk usaha-usaha pemecahan masalahnya, tidak berlandaskan pada hakekat politik itu sendiri. Karena itu yang dibicarakan sebenarnya bukan lagi politik melainkan impian-impian kosong tentang politik”, saya rasa merupakan manifest dari tunas kemunculan politik sentris yang saya maksudkan di atas. Suatu masalah tidak ditempatkan pada wadahnya masing-masing. Sehingga semua diasimilasikan dalam satu bentuk bahasa, yaitu bahasa politik.

Tolerir Sampai Gemuk

Nampaknya kita yang hidup di Indonesia sudah sangat mengerti tentang toleransi, hanya saja kurang paham dalam tataran aplikasi toleransi. Berkembangnya berbagai macam permasalahan yang timbul di Negara kepulauan ini menjadi babak baru bagi terminologi toleransi—kalau tidak berlebihan saya katakan, bahwa dengan banyaknya masalah yang terjadi di Indonesia dengan solusi yang tidak kunjung datang, toleransi menempatkan dirinya sebagai senjata khusus (baca:hadiah) untuk orang atau sekelompok orang tertentu. Perlu dikaji lagi bahwa, kenapa toleransi ini menjadi senjata ampuh dalam setiap penyelesaian masalah, padahal secara rasional, toleransi adalah suatu proses yang nantinya mendatangkan kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal yang seharusnya diganjar dengan hukuman bisa berbuah menjadi grasi, seharusnya dipenjara seumur hidup bisa menjadi 2 atau 3 tahun, seharusnya bertanggungjawab terhadap kerusakan sumber daya alam dan lingkungan mendapatkan perlindungan—tapi jangan salah, toleransi ini hanya berlaku untuk kalangan di atas garis kemapanan, begitpun dengan hukum di Indonesia, hukum ini hanya mentolerir kepada jumlah dollar dan/atau jabatan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang. Orang-orang yang telah gemuk dengan harta dan jabatan, akan semakin gemuk lagi dengan tambahan menu toleransi terhadap kesalahan.

Apa yang terjadi dengan pejabat teras dan di sekitar area pemerintahan pusat Negara ini merupakan bagian dari contoh nyata dari hal tersebut di atas. Yang tidak kalah menarik adalah, Negara ini mentoleransi kelanggengan kemiskinan, mentoleransi keberlangsungan keterbelakangan pendidikan, mentoleransi pelayanan kesehatan yang tidak adil, mentoleransi adanya pergolakan dan konflik vertikal (pemegang kekuasaan/birokrasi dengan rakyat) maupun konflik horizontal (sesama rakyat yang diprovokasi). Dalam perenungan Ahmad Wahib nampaknya telah tergambar jelas bahwa  “Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini, ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja-pekerja jasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun? Apa bedanya menggenjot becak setahun dengan sepuluh tahun? Ide untuk maju walaupun dengan pelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. Baru-baru ini saya melihat gambar orang tua di majalah. Dia telah 35 tahun manjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaan dodol. Potong-potong…potong terus, tiap detik, jam, hari, bulan, tahun,…, sampai 35 tahun. Masya Allah!. Toleransi macam apa yang diberlakukan di Indonesia, jangankan mendapatkan hadiah toleransi, untuk makanpun rakyat Indonesia masih mengais sampah.

Toleransi, Apakah Perlu Kelompok Baru?

Wacana untuk memunculkan nama-nama dan simbol baru untuk mewadahi hasil kontemplasi pemikiran yang baru pula, sangat sering kita dengar dan kita lihat akhir-akhir ini—perbedaan sebesar benihpun akan menjadi persoalan dewasa ini. Itulah yang selalu membuat bangsa dan masyarakat ini pecah dan lemah—muncullah orang dan generasi baru, muncul pula lembaga dan badan baru atau kelompok-kelompok baru, tapi yang dipakai adalah landasan teori dari orang-orang terdahulu—banyak, dan mulai tambah banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun