Perayaan Idul Adha bukanlah sekedar ritual keagamaan semata. Ia merupakan momentum bagi umat Islam melakukan introspeksi dan refleksi, bukan sekedar aksi selebrasi. Ada banyak pesan mendalam yang jauh melampaui ritual keagamaan. Pesan tentang nilai hakiki yang sangat relevan bagi para pemimpin dimasa kini dan calon pemimpin dimasa depan.
Momen introspeksi dan refleksi ini harus selalu menjadi pengingat, bahwa kekuasaan dan jabatan digunakan untuk melayani rakyat. Pemimpin yang baik tidak dilahirkan semata dari popularistasnya di media sosial. Tetapi lahir dari kesanggupan berkorban dan kemampuan berempati. Kedua hal ini yang menjadi poin penting peringatan Idul Adha.
Berbicara soal pengorbanan, telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Pengorbanan ini  kemudian mampu memberi teladan luar biasa bagi lintas generasi. Dengan keikhlasan tinggi berani melepaskan sesuatu yang sangat dicintainya, demi ketaatan untuk kemaslahatan umat yang lebih besar.
Pemimpin di era sekarang, juga pastinya akan mengalami ujian. Meskipun ujiannya dalam bentuk berbeda. Mampukah ia melepaskan egonya? Mampukah ia mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, namun bermanfaat besar bagi rakyatnya?
Pemimpin itu hadir dalam konteks, bukan simbolik!
Pengorbanan seorang pemimpin hadir dalam bentuk berbeda-beda. Misalnya, ia rela menunda proyek besar mercusuar demi mempercepat hadirnya bantuan sosial.  Atau dalam bentuk kemampuan menahan diri agar tidak hanya berwacana disaat rakyat butuh kepastian jawaban. Selain itu, pengorbanan pemimpin juga hadir ketika  ia secara berani bersikap, meskipun sadar itu berisiko besar bagi dirinya.
Sebagaimana yang diungkapkan tokoh Bangsa, Bung Hatta , "Pahlawan yang setia itu bukan saja mereka yang berjuang di medan perang, tetapi mereka yang menegakkan kebenaran dan keadilan meskipun harus menghadapi risiko kehilangan jabatan."
Poin kedua adalah kemampuan empati. Dalam kisah Ibrahim dan Ismail, sebelum pengorbanan dilakukan, terjadi dialog yang sangat manusiawi. Mereka berdua hadir sebagai sosok yang saling memahami. Ada ruang dialog dihadirkan sebelum memutuskan keputusan penting.
Begitu juga dalam sebuah kepemimpinan. Empati tidak bisa dimanipulasi. Ia muncul dari kemampuan untuk selalu mendengarkan jeritan rakyat, bukan sekadar membaca laporan staf atau mendengarkan bisikan tim penasehat.
Empati juga menuntut seorang pemimpin untuk hadir. Bukan hanya secara simbolik, tapi secara nyata di tengah masalah rakyatnya. Pun ketika tidak bisa hadir secara fisik, tapi ia mampu hadir lewat hati melalui kebijakannya yang pro rakyat.
Pesan Moral Idul Adha