لِتَسْتَوٗا عَلٰى ظُهُوْرِهٖ ثُمَّ تَذْكُرُوْا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ اِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُوْلُوْا سُبْحٰنَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هٰذَا وَمَا كُنَّا لَهٗ مُقْرِنِيْنَۙ (١٣)
Terjemahan Kemenag 2019
"Agar kamu dapat duduk di atas punggungnya. Kemudian jika kamu sudah duduk (di atas punggung)-nya, kamu akan mengingat nikmat Tuhanmu dan mengucapkan, "Maha Suci Zat yang telah menundukkan (semua) ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya (QS. Az-Zukhruf: 13)."
Pernahkah kita duduk di atas kendaraan, entah mobil, kapal, atau bahkan motor tua yang biasa mengantar kita pulang, lalu sejenak menghening dan mengingat bahwa semua ini bukan semata hasil buatan tangan manusia? Bahwa semua daya yang membuat roda berputar, layar berlayar, dan pesawat terbang tinggi di langit, sesungguhnya bersumber dari satu kekuatan yang tak terjangkau oleh nalar?
Ayat ini menyapa manusia dalam momen keseharian yang sangat biasa, namun penuh makna. Duduk di atas punggung kendaraan bukanlah sekadar soal mobilitas, tapi tentang pengakuan, tentang kesadaran akan nikmat yang sering kita lupakan. Ibn 'Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan bahwa kata "uhr" di sini bukan hanya merujuk pada punggung hewan tunggangan, tetapi juga mencakup kapal yang besar, yang seperti 'memiliki punggung' tempat manusia duduk atau berdiri. Maka setiap kali kita naik kendaraan, kita sedang naik ke atas nikmat yang telah Allah tundukkan, yang sebelumnya tak mungkin bisa kita kuasai sendiri.
Setelah duduk dengan stabil di atasnya, kata beliau, saat itulah kita dituntut untuk mengingat nikmat itu dengan hati yang sadar, bukan hanya lidah yang mengucap. Sebab mengingat nikmat di saat menikmatinya akan jauh lebih dalam membekas dalam jiwa dan mendorong seseorang untuk benar-benar bersyukur.
Syahdan, Rasulullah pun ketika bepergian senantiasa mengucapkan tasbih ketika menaiki tunggangan. Beliau membaca, "Subna alladz sakhkhara lan hdz wa m kunn lahu muqrinn wa inn il rabbin lamunqalibn." Ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan an-Nas'i. Dalam pengucapan itu, tersimpan kesadaran penuh bahwa apa pun yang kita kendalikan sesungguhnya bukan karena kekuatan kita, tapi karena Allah yang telah menundukkannya.
Makna "muqrinn", sebagaimana dijelaskan Ibn 'Asyur, adalah orang yang sanggup atau mampu menguasai sesuatu. Dan manusia, tanpa pertolongan dari-Nya, tidak akan pernah sanggup menundukkan hewan atau membuat kapal, apalagi mengendalikan angin dan lautan. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Munir juga menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan perintah untuk mengingat kematian. Sebab perjalanan di darat dan laut selalu menyimpan risiko. Dan bagi orang yang sadar, naik kendaraan adalah momen untuk merenung bahwa suatu hari nanti ia juga akan "berkendara" menuju alam akhirat, tempat ia kembali kepada Tuhannya.
Bahkan tafsir Al-Azhar memaparkan dengan sangat menyentuh bahwa ketika kita membaca tasbih ini, sejatinya kita sedang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Kita mengakui bahwa tak ada kekuatan mutlak yang bisa menjamin keselamatan kita, selain Dia. Maka jika pun terjadi hal-hal di luar dugaan seperti kerusakan mesin, tabrakan, atau tenggelamnya kapal, kita telah meletakkan ketergantungan kita pada pemilik kekuasaan sejati.
Tafsir Kementerian Agama juga menggarisbawahi pentingnya kesadaran ini. Ketika manusia menyadari bahwa kapal, mobil, hewan, dan seluruh fasilitas perjalanan adalah karunia Allah, maka yang layak disucikan dan dipuji hanyalah Dia. Bukan teknologi yang diagung-agungkan, bukan sopir atau pilot yang dielu-elukan, tetapi Allah yang telah menundukkan segala ini bagi manusia. Bahkan, bila Allah tidak menundukkannya, semua ini tak akan bisa dimanfaatkan sedikit pun oleh kita.
Ayat ini juga menjadi pengingat spiritual bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan, dan seluruh kendaraan yang kita tunggangi hanyalah sarana untuk menuju satu tujuan: kembali kepada Allah. Maka betapa dalam pesan yang tersirat dalam ayat ini. Ia tidak sekadar berbicara tentang transportasi, tapi tentang orientasi jiwa, tentang kesiapan kembali, tentang kepemilikan nikmat, dan tentang kesadaran akan akhir perjalanan.