"AKAN KITA SADARI SEPENUHNYA BAHWASANNYA MANUSIA MERUPAKAN KEKUATAN STRATEGIS DALAM PEMBAGUNAN DAN BUKAN SEKADAR Â FAKTOR PRODUKSI SAJA DALAM PERUSAHAAN. SELAIN ITU, MANUSIA PULALAH YANG MEMILIKI PERASAAN DAN MAMPU BERPIKIR SERTA BERKARYA DALAM PEMBANGUNAN UNTUK MEMAJUKAN KESEJAHTERAAN UMUM DAN MENCERSDASKAN KEHIDUPAN BANGSA"
Perjalanan sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh orientasi bisnis dan capaian keuntungan semata, melainkan juga oleh bagaimana perusahaan tersebut mampu mengintegrasikan nilai-nilai ideologi bangsa dalam setiap langkah strategisnya. Salah satu contoh inspiratif yang dapat dijadikan bahan refleksi adalah Perusahaan Gobel, yang dipimpin oleh almarhum H. Thayeb Mohammad Gobel. Dalam buku Praksis Pengamalan Pancasila: Pengamalan Ideologi di Perusahaan Gobel karya Nasihin Masha, tersaji narasi yang menunjukkan bagaimana Gobel berusaha menjadikan Pancasila sebagai roh utama dalam pengelolaan bisnis, sehingga perusahaan bukan sekadar institusi ekonomi, melainkan juga wadah pengabdian sosial.Â
Membangun dengan Landasan Ideologi
Bila ditelaah secara kritis, Gobel tidak ini menempatkan Pancasila hanya sebagai slogan, melainkan sebagai paradigma praksis yang membentuk pola pikir dan tindakan. Misalnya, sila ke-5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diterjemahkan dalam bentuk nyata dengan menciptakan kesejahteraan bagi karyawan, membangun ekosistem kerja yang sehat, serta memberikan jaminan penghidupan yang layak bagi SDM mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dapat berperan sebagai agen pembangunan sosial, bukan hanya aktor ekonomi. Dari sudut pandang sebagai mahasiswa kita ini yang sedang belajar tentang entrepreneurship berbasis nilai, pendekatan Gobel dapat dilihat sebagai kombinasi antara profit motive dengan social responsibility. Yang artinya, keberhasilan perusahaan tidak boleh diukur semata-mata dari angka keuntungan, tetapi juga dari sejauh mana perusahaan mampu memberi manfaat langsung pada masyarakat.Â
Memajukan Kesejahteraan Umum
Kesejahteraan umum ini dalam konteks perusahaan Gobel tampak dari berbagai inisiatif yang menekankan pada keseimbangan kepentingan. Analisis dari penulis memperlihatkan bahwa Gobel berupaya menghilangkan dikotomi antara majikan dan pekerja. Relasi industrial tidak lagi hanya sekadar hubungan transaksional, melainkan juga hubungan kekeluargaan yang selaras dengan nilai gotong royong khas Indonesia. Sehingga, Kami ini sebagai mahasiswa, menilai hal ini merupakan refleksi dari ekonomi Pancasila, di mana keberadaan perusahaan adalah untuk membangun harmoni sosial. Ini berbeda dengan model kapitalisme liberal yang cenderung menekankan kepentingan pemilik modal. Dengan demikian, kebijakan Gobel menghadirkan paradigma alternatif: yaitu perusahaan sebagai rumah bersama yang menyejahterakan.
Mencerdaskan Kehidupan (SDM)Â
Salah satu aspek paling menarik dari praktik Gobel adalah komitmennya pada pembangunan sumber daya manusia (SDM). Ia menyadari bahwa produktivitas perusahaan tidak dapat dipisahkan dari kualitas manusia yang menggerakkannya. Oleh karena itu, pendidikan, pelatihan, dan pembinaan moral menjadi fokus utama. hal ini menunjukkan pergeseran dari orientasi jangka pendek menuju pembangunan jangka panjang. SDM yang cerdas bukan hanya menciptakan keuntungan ekonomi, tetapi juga membangun daya saing bangsa. Secara filosofis, hal ini sejalan dengan pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Refleksi dan Relevansi
Melihat praktik Gobel, saya mengartikan dan dapat di analisis bahwasannya keberhasilan dalam sebuah perusahaan bukan hanya karena kemampuan dalam membaca pasar, melainkan juga karena keberanian untuk mengintegrasikan nilai-nilai ideologis ke dalam sistem manajemen. Dalam konteks saat ini, ketika banyak perusahaan lebih menekankan pada efisiensi dan profit, Gobel justru menunjukkan jalan lain yang di paradigmakan membangun dengan kesadaran ideologis dan tanggung jawab sosial. Sebagai mahasiswa, saya melihat teladan Gobel relevan untuk dikontekstualisasikan pada era modern. Kewirausahaan yang mengakar pada nilai-nilai Pancasila dapat menjadi fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan globalisasi, yang mana manusia tidak hanya diperlakukan sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai subjek pembangunannya.