Mohon tunggu...
Muhammad Ghulam
Muhammad Ghulam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Islam FEB Unpad

Jelajahilah ruang kata-kata dan temukan keajaiban di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Titik Kebahagiaan

10 Mei 2020   21:53 Diperbarui: 28 Juli 2020   13:17 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kala itu di siang hari yang terik. Seorang bocah berjalan dengan gontai. Sesekali tangannya mengusap peluh di mukanya. Meniti tapak demi setapak aspal yang panas tanpa alas kaki. Ukulele usang yang dibawanya, menjadi sahabat dalam hari-harinya. Baju compang-camping yang dipakainya, menjadi aset sandang bagi dirinya. Sejenak ia duduk di bangku halte untuk beristirahat dan menghitung pundi-pundi uang yang didapatkannya dari satu bis kota ke bis kota lainnya.

Ialah Wawan. Umurnya sekitar 10 tahun. Bocah yang tak seberuntung bocah lainnya. Tak seperti bocah pada umumnya yang sehari-harinya bersekolah dan bermain, hari-hari Wawan diisi dengan mengamen di bis-bis kota. Ia tinggal di gubuk seng di kawasan kumuh ibukota. Bersama ibunya saja dia tinggal disana. Wawan adalah anak tunggal. Ayahnya telah tiada ketika Wawan masih bayi. Ayah Wawan meninggal karena penyakit DBD. Jadilah Wawan anak yatim sekaligus tulang punggung bagi keluarga. Sebab hasil upah ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, Wawan berangkat dari pagi hingga petang untuk mengamen demi membantu ibunya.

Di bangku halte, Wawan pun berselonjor kaki. Dikeluarkannya bekas bungkus permen, tempat mengumpulkan uang hasil mengamennya. Kemudian Wawan pun mulai menghitung uang hasil mengamennya.

"Sepuluh....dua puluh...tiga puluh...empat puluh...lima puluh...enam puluh...lima..., enam puluh lima ribu! Alhamdulillah, Ya Allah, hari ini hamba dapat rezeki yang banyak. Terima kasih, Ya Allah." Seru Wawan riang.

Ketika Wawan sedang asyiknya menghitung uang di tangan, dengan cepat dan sigap seseorang tak dikenal merampas uangnya dari tangan. Seseorang tak dikenal itupun langsung berlari. Dan ternyata orang tak dikenal itu adalah penjambret.

"Jambret...! Jambret...!" Wawan pun berteriak demi meminta bantuan. Satu dua orang dewasa menghampirinya.

"Mana, Dek, penjambretnya?" Tanya salah satu orang yang hendak menolong.

"Itu, Om, tadi lari ke arah sana." Wawan menunjuk arah larinya penjambret.

Wawan bersama para penolong mulai mengejar penjambret tersebut. Dengan sekuat tenaga mereka mengejar, namun ternyata penjambret itu lebih cepat. Penjambret tersebut kemudian masuk gang, mereka masih mengejar. Ketika Wawan dan para penolong mulai masuk gang, mereka terperanjat karena penjambret tersebut sudah hilang.

"Hosh..hosh..hosh...kemana larinya penjambret itu?" Ujar salah seorang penolong.

Wawan dan para penolong pun mulai menyusuri gang, tetapi sayang mereka tidak menemukan penjambret tersebut. Kemudian Wawan pun berjongkok dan ia pun menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun