Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pubertas Intelektual: Marginalisasi Wacana Keagamaan dan Pseudo Free-Thinking

8 Agustus 2022   16:31 Diperbarui: 8 Agustus 2022   16:37 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sore itu ketika saya sedang nongkrong di sebuah kafe di Senopati bersama teman-teman saya, saya mendengar orang di sebelah saya berkata (sembari bercanda bersama teman-temannya): "Agama itu bisnis!", ada juga satu lontaran yang membawa-bawa nama nabi besar dari agama Islam yakni Nabi Muhammad dengan sebutan yang sama sekali tidak menghormati, minus respect.

Ketika mendengar celotehan tersebut, jujur saja saya tidak bisa menolak rasa risih dan terusik yang muncul dari dalam hati saya, sebab adalah pertama, bahwa saya adalah seorang Muslim, saya kira tidak mesti menjadi seorang "reaksioner-revivalis" untuk merasa terusik oleh kalimat semacam itu yang jelas menyeret system of belief seseorang menuju lembah "profanitas". 

Teolog Paul Tillich mengatakan bahwa agama adalah ultimate concern bagi seseorang sehingga peran agama dalam diri seseorang sangatlah sentral, sebab ia meliputi elemen kedalaman jiwa dan penghayatan batin seseorang tersebut. 

Bisa dikatakan bahwa perkara agama bagi orang yang serius beragama adalah bukan perkara santuy yang bisa seenaknya direndahkan, dan tidak mesti menjadi seorang agamawan "radikal" untuk tersinggung ketika ultimate concern-nya "disikut" seseorang. 

Kedua, saya rasa ungkapan tersebut lahir dari adanya minus wisdom, minus wisdom lahir karena adanya minus knowledge, sudah jelas itu. Minus knowledge terhadap agama akhirnya membuat seseorang berhenti memaknai agama sebagai "alat pertumpahan darah", agama dimaknai sebatas penyebab mundurnya ilmu pengetahuan (sebatas dengan argumen sejarah dark ages-renaissance Barat dan argumen radikalisme ISIS). 

Saya yakin ungkapan "Agama adalah bisnis!" pun tidak terlepas dari reduksi serupa, hanya memandang setitik jerawat pada wajah agama, kemudian dengan setitik jerawat tersebutlah mereka mengambil kesimpulan sekaligus mengenyampingkan keindahan wajah muka tersebut yang bersih, cantik, dan bebas jerawat.

Saya katakan bahwa agama tidak pernah menutup diskursus rasional terkait peran serta problema yang menyangkut agama dalam kehidupan manusia, artinya bahwa budaya dialog itu pun tidak pernah mati dalam agama yang kata mereka "dogmatis-totaliter" dan beku tersebut. 

Jikalau berbicara dalam konteks Islam, budaya hiwar (dialog) dan syura' (musyawarah) itu sudah menjadi hal yang sangat-sangat biasa dalam lingkungan Islam, para ulama' Islam sejak dahulu pun tidak lepas dari budaya dialektika  dan bantah-membantah (radd). 

Budaya Ijtihad pun sudah menjadi hal yang terikat dalam bangunan hukum Islam, yang mana ijtihad hanya akan bekerja ketika nalar bekerja disana, bekerjanya nalar artinya hidupnya intelektualitas. 

Dalam sejarah pemikiran Barat pun, peran-peran teolog sekaligus filsuf Kristiani tidak bisa dilepaskan, tokoh-tokoh seperti Agustinus dan Thomas Aquinas lah contohnya, yang tentu saja sumbangan mereka terhadap khazanah diskursus teologi dan filosofis tidaklah bisa dikatakan sedikit. 

Di Indonesia pun, kita menyaksikan berbagai intelektual Muslim dan juga Kristen yang menjadi tokoh bangsa yang pikiran mereka bagaikan "gudang ilmu pengetahuan", tokoh-tokoh seperti Azyumardi Azra, Nurcholish Madjid, Hamid Fahmy Zarkasyi, Fahruddin Faiz, Franz-Magnis Suseno, dan masih banyak lagi jumlahnya. Mereka adalah contoh jelas bahwa agama tidak sinonim dengan kemandekan ilmiah. 

Haruskah agama dipandang dengan sesempit itu? Bukankah kita semua benci close-mindedness? Jujur saja, saya punya cukup banyak teman yang agnostik, bahkan atheis sekalipun, dan kami sama sekali tidak pernah tertutup untuk berdebat satu sama lain. 

Bahkan saya dengan teman saya yang cenderung atheis-materialis akan berencana untuk menulis satu buku terkait perdebatan filosofis spiritualis-materialis yang cukup panjang dalam sejarah pemikiran manusia. 

Ini merupakan contoh bahwa kami berdua dengan "kecerdasan" kami masing-masing tidak terlepas dari wisdom untuk saling menghargai, sekritis-kritisnya teman saya tersebut terhadap agama (yang saya selalu layani dengan nalar pula), ia lantas tidak pernah terpikir untuk melecehkan figur serta nilai yang sakral bagi pemeluk agama tertentu di ruang publik. 

Memang, alat terbaik untuk menguji apakah pikiran seseorang itu benar-benar "open minded" dan kritis bukan ada di lisan yang penuh "cuap-cuap sok dekonstruktif" yang seringkali tidak disertai khazanah pengetahuan di dalamnya, tapi adalah dengan menguji kemampuannya untuk bersikap terbuka untuk berdiskusi ilmiah dan dibantah secara ilmiah dan melihat kemampuannya untuk memisahkan ungkapan ilmiah yang bernas dengan ungkapan ideologis yang tampang-nya saja ilmiah nyatanya cuma sinisme bertameng kebebasan berpikir, sementara kebebasan berpikir tanpa luasnya pengetahuan adalah kecelakaan besar. 

Ir. Soekarno, proklamator kita mengatakan "Belajar tanpa berpikir tidak ada gunanya, tapi berpikir tanpa belajar sangat berbahaya!", memang demikian. 

Saya rasa orang-orang yang benar cerdas akan selalu mencoba untuk adil dalam menilai segala fenomena, tidak reduktif dan kemudian merasa paling cerdas sedunia, orang-orang cerdas memang tidak bisa untuk terus-menerus diam, "dakwah" intelektual mesti disampaikan, baik melalui lisan maupun tulisan dan tentu saja dijalankan dalam  kerangka ilmiah dan kerangka kebijaksanaan. 

Marginalisasi wacana keagamaan dan "Pseudo Free-Thinking" 

Akhirnya, membahas terkait agama dipandang tabu dan terbelakang, namun ungkapan "sok filosofis" yang jelas-jelas tidak berdasarkan bacaan-bacaan serius dianggap sebuah bentuk intelektualitas baru dan yang menyampaikannya dianggap "manusia tercerahkan", ini adalah fenomena yang cukup serius dan cukup nyebelin. 

Bukan saja karena agama adalah seperti apa yang dikatakan Tillich sebagai ultimate concern yang tidak bisa diperlakukan sembarangan, tetapi juga karena kita terang-terangan mengglorifikasi kebodohan dan "kekurang-bacaan" dengan cara menganggap statemen semacam itu sebagai gebrakan intelektual, kita diam-diam melazimkan pandangan bahwa tidak ada ruang bagi pemikiran agama untuk intelektualitas, kita mengecam orang yang belajar tanpa berpikir, tapi kita mengangkat-angkat dan hype oleh orang yang berpikir tanpa belajar. 

Akhirnya, artikel singkat ini dimaksudkan untuk mengajak kita semua untuk lebih adil dan objektif dalam berpikir, serta mengajak kita agar "berpikir sekaligus belajar" dan bukan "berpikir tanpa belajar", ingatlah bahwa perdebatan tidak bisa lepas dari buku-buku bacaan agar tidak ngawur aqli, dan bagi saya ada juga satu kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan yakni dzikir, agar tidak ngawur batin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun