Mohon tunggu...
Muhammad Fajri
Muhammad Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Islamic Philosophy

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia dan Post Truth

22 Juli 2022   21:47 Diperbarui: 22 Juli 2022   22:10 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Post truth juga menghilangkan otoritas atau kompetensi dalam objek kajian, contohnya banyak ustad-ustad berbicara mengenai politik, dan lain lainnya yang bukan menjadi ahlinya. 

Kompetensi mulai tergeser karena post truth, banyak orang yang tidak kompeten berbicara mengenai hal yang tidak dia pahami, serta menyebarkan pemahaman yang salah bahkan jauh dari kebenaran dan membuat orang percaya akan informasi yang dia sebarkan.

 Contohnya dalam hal agama, tokoh a yang notabenenya bukan mazhab syiah bahkan terkenal mazhab yang berseberangan dan membenci mazhab syiah berbicara mengenai syiah, dan tentu yang akan dibicarakannya mengenai keburukan. 

Sisi emosional lagi yang dipermainkan disini, dimana sudah memiliki atau tertanam rasa kebencian dan buta terhadap kebenaran yang objektif sehingga memunculkan sikap intoleran dan kesalahan dalam berpikir. Lalu yang parah menyebarkan informasi yang jauh dari kebenaran, mengapa kita tidak datang dan mencari tahu dari sumber atau tokoh yang kompeten? 

Mencari tahu tentang kebenaran yang objektif dari tokoh-tokoh yang kompeten dan ahli di bidang tersebut. Agama, politik, filsafat, fiqih, tafsir, hermeneutik, dll.

Ini sudah lazim dan menjadi sebuah penyakit seperti virus tadi, sudah terbentuk polarisasi sehingga menciptakan sikap prejudice, dimana kita sudah memiliki pemahaman atau memiliki kecenderungan negatif terhadap hal tersebut dan tidak mau mencari tahu tentang hal tersebut secara objektif, yang mengakibatkan kehancuran terhadap manusia dan masyarakat itu sendiri.

LGBT adalah salah satu agenda besar untuk para pelaku post truth, dimana banyak konten di media sosial yang menormalisasi hal tersebut. Dengan alasan kemanusiaan dan sebagainya, mereka membuat warga media sosial mempercayai bahwa hal ini adalah hal yang benar. Lagi-lagi akan membuat kerusakan di tengah kehidupan manusia itu sendiri, dan lagi-lagi menguntungkan para pelaku post truth itu sendiri.

Berhasilnya post truth pada hari ini kita bisa lihat bahwa kebenaran hampir mengenai segala sesuatu ditinggalkan atau kebenaran yang objektif. Orang-orang mulai meninggalkan bahkan yang lebih parah menganggap kebenaran itu sebagai sebuah kesalahan, sangat amat parah kebodohan yang ada. 

Seperti kasus mengenai Palestina, banyak orang yang tahu menyadari bahwa tanah Palestina sepenuhnya hak untuk orang Palestina itu sendiri, namun banyak orang yang menafikan fakta tersebut. Sekalipun fakta sudah ada secara politik, tatanan negara, dll. 

Karena adanya emosi yang di trigger dari post truth, agar terlihat keren dan kebarat-baratan. Pada zaman sekarang disebut edgy, orang berpikir atau berpahaman yang salah dianggap edgy atau keren. Berpahaman atau bertindak anti-mainstream dianggap keren sekalipun hal yang salah.

Semua ini yang dimainkan adalah emosi, karena seperti yang disinggung di awal bahwa mereka menggantungkan eksistensinya terhadap pujian orang terutama di media sosial. Sekalipun pada kehidupan nyata tidak memiliki siapapun, tapi punya banyak teman di media sosial dan teman itu tidak sejati mereka akan senang. Mereka sudah hidup dalam ilusinya sendiri, yang terbangun karena post truth.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun