Masyarakat Indonesia sering mendebatkan apakah poligami itu baik atau tidak. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, percakapan tentang poligami harus bergantung pada pemahaman kita tentang agama, konteks sosial, dan aspek keadilan. Dari sudut pandang pendidikan agama, poligami harus dipahami secara menyeluruh, bukan hanya dari sudut pandang hukum syariat, tetapi juga dari sudut pandang bagaimana itu diterapkan dan berdampak pada keluarga dan masyarakat. Poligami bukan sekadar persoalan hukum formal, tetapi juga menyentuh aspek spiritual, sosial, dan kemanusiaan. Melalui artikel ini, saya ingin berbagi pemahaman tentang poligami dari kacamata seorang calon sarjana hukum yang juga berusaha memahami ajaran Islam secara mendalam.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadis, poligami dalam Islam memiliki landasan hukum yang jelas. Ayat yang paling sering disebutkan adalah surah An-Nisa ayat 3, yang memberikan izin bagi laki-laki untuk menikahi lebih dari satu wanita dengan beberapa syarat. Namun, izin ini merupakan rukhsah, atau keringanan, dalam kondisi tertentu, bukan perintah atau anjuran. Syarat utama yang ditekankan dalam syariat adalah kemampuan untuk berlaku adil, baik secara materi maupun non-materi. Keadilan ini mencakup pembagian waktu, kasih sayang, nafkah, dan perlakuan yang setara kepada semua istri. Al-Quran sendiri menegaskan bahwa jika seseorang tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu istri saja.
Untuk memahami poligami secara menyeluruh, penting bagi kita untuk melihat konteks historis dan sosial di mana ayat-ayat yang membahas poligami diturunkan. Pada masa Rasulullah SAW, poligami sering kali menjadi solusi perlindungan sosial bagi janda-janda perang dan anak-anak yatim yang kehilangan tempat bergantung. Poligami pada waktu itu memiliki tujuan mulia, yakni memberikan perlindungan dan keadilan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, dalam konteks Indonesia kontemporer, motivasi poligami sangat beragam. Ada yang didasari alasan syar'i seperti membantu perempuan yang membutuhkan perlindungan, tetapi tak sedikit yang lahir dari keinginan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis yang mungkin timbul. Oleh karena itu, memahami poligami tidak cukup hanya dari teks agama, melainkan juga harus memperhatikan konteks dan implikasi nyata di masyarakat saat ini.
Islam memberikan landasan yang jelas tentang poligami melalui QS. An-Nisa ayat 3: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat ayat ini sebagai regulasi yang sangat detail dengan syarat-syarat yang ketat. Kata "jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil" menunjukkan bahwa keadilan adalah prasyarat mutlak, bukan sekadar anjuran.
Rasulullah SAW dalam hadisnya juga memberikan peringatan keras: "Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring sebelah badannya." (HR. Abu Dawud)
Dalam ilmu ushul fiqh yang saya pelajari, poligami masuk kategori mubah (dibolehkan) bukan sunnah atau wajib. Namun, ini adalah mubah yang bersyarat ketat. Para ulama sepakat bahwa jika seseorang tidak mampu berlaku adil, maka poligami menjadi haram baginya.
Imam Syafi'i berkata: "Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal lahiriah seperti giliran, nafkah, dan tempat tinggal. Adapun keadilan dalam hal cinta dan kasih sayang, hal ini tidak mungkin dilakukan manusia."
Dalam Islam, poligami dibolehkan dengan syarat yang ketat. Seorang suami harus mampu berlaku adil dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan giliran, serta memiliki kemampuan finansial yang memadai. Poligami juga hanya dibenarkan jika ada alasan syar'i yang mendesak dan tidak boleh merugikan istri maupun anak-anak yang sudah ada. Dengan kata lain, poligami adalah tanggung jawab besar, bukan sekadar hak semata.
Namun, poligami tidak bisa dilakukan begitu saja, melainkan harus melalui prosedur hukum yang ketat di Pengadilan Agama. Seorang suami wajib mengajukan permohonan resmi, disertai pembuktian alasan yang sah secara syar'i dan hukum. Persetujuan dari istri pertama juga menjadi syarat utama, yang harus disampaikan langsung dalam persidangan. Selain itu, pengadilan akan menilai kemampuan finansial suami untuk memastikan bahwa ia sanggup menafkahi seluruh keluarga secara adil. Jika seluruh syarat dipenuhi, maka pengadilan dapat memberikan izin resmi untuk berpoligami. Sebagai calon praktisi hukum, saya melihat prosedur ini sebagai bentuk perlindungan penting agar poligami tidak disalahgunakan serta untuk menjaga hak-hak istri dan anak dalam bingkai keadilan keluarga.
Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam). Setiap ketentuan syariat, termasuk tentang poligami, harus dipahami dalam kerangka mewujudkan kemaslahatan dan keadilan untuk semua pihak.