Setiap pagi, jutaan orang keluar rumah dengan rutinitas yang tak jauh beda. Mereka bergegas menembus padatnya jalanan, berdesakan di transportasi umum, atau terjebak dalam antrean kendaraan pribadi yang tak kunjung bergerak.Â
Udara pagi yang seharusnya segar justru terasa sesak, bercampur bau asap knalpot dan panas aspal yang belum sempat dingin dari malam sebelumnya.
Di sela-sela klakson yang bersahut-sahutan, banyak yang sudah lelah bahkan sebelum sampai di tempat tujuan. Belum lagi jika mendung mulai menggantung karena sedikit saja hujan turun, sebagian kota bisa berubah menjadi kolam air keruh yang menutup akses jalan.
Inilah potret harian yang akrab bagi warga kota besar di Indonesia. Sebuah kehidupan yang nyaris otomatis, macet dianggap biasa, panas dianggap wajar, banjir dianggap musiman.Â
Gejala Pertama: Udara Makin Panas dan Pengap
Data menunjukkan bahwa suhu rata-rata kota-kota besar di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini bukan sekadar perasaan, tapi kenyataan yang tercatat dalam berbagai laporan cuaca dan lingkungan.Â
Salah satu penyebab utamanya adalah efek urban heat island ketika kawasan perkotaan menjadi jauh lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya karena dominasi beton, aspal, dan minimnya ruang hijau.
Pohon-pohon ditebang demi pembangunan, taman kota dikalahkan oleh gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, sementara permukaan tanah yang semestinya menyerap panas digantikan oleh lapisan aspal dan ubin yang memantulkan kembali panas ke atmosfer.Â
Hasilnya, suhu permukaan kota bisa naik hingga 3–5 derajat Celsius lebih tinggi dari wilayah non-perkotaan. Peningkatan suhu ini bukan hanya membuat tidak nyaman, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan.Â
Gejala Kedua: Macet Seperti Penyakit Kronis