Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Panas, Macet, Banjir: Kita Sedang Hidup di Kota yang Sakti

14 Juli 2025   13:20 Diperbarui: 14 Juli 2025   13:05 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Kemacetan di Jalan Patra Raya akibat banjir pasca hujan deras. (Sumber gambar: Intan Afrida Rafni/kompas.com)

Setiap pagi, jutaan orang keluar rumah dengan rutinitas yang tak jauh beda. Mereka bergegas menembus padatnya jalanan, berdesakan di transportasi umum, atau terjebak dalam antrean kendaraan pribadi yang tak kunjung bergerak. 

Udara pagi yang seharusnya segar justru terasa sesak, bercampur bau asap knalpot dan panas aspal yang belum sempat dingin dari malam sebelumnya.

Di sela-sela klakson yang bersahut-sahutan, banyak yang sudah lelah bahkan sebelum sampai di tempat tujuan. Belum lagi jika mendung mulai menggantung karena sedikit saja hujan turun, sebagian kota bisa berubah menjadi kolam air keruh yang menutup akses jalan.

Inilah potret harian yang akrab bagi warga kota besar di Indonesia. Sebuah kehidupan yang nyaris otomatis, macet dianggap biasa, panas dianggap wajar, banjir dianggap musiman. 

Gejala Pertama: Udara Makin Panas dan Pengap

Data menunjukkan bahwa suhu rata-rata kota-kota besar di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini bukan sekadar perasaan, tapi kenyataan yang tercatat dalam berbagai laporan cuaca dan lingkungan. 

Salah satu penyebab utamanya adalah efek urban heat island ketika kawasan perkotaan menjadi jauh lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya karena dominasi beton, aspal, dan minimnya ruang hijau.

Pohon-pohon ditebang demi pembangunan, taman kota dikalahkan oleh gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, sementara permukaan tanah yang semestinya menyerap panas digantikan oleh lapisan aspal dan ubin yang memantulkan kembali panas ke atmosfer. 

Hasilnya, suhu permukaan kota bisa naik hingga 3–5 derajat Celsius lebih tinggi dari wilayah non-perkotaan. Peningkatan suhu ini bukan hanya membuat tidak nyaman, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan. 

Gejala Kedua: Macet Seperti Penyakit Kronis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun