Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Red Flag dalam Hubungan yang Sering Dianggap Wajar Padahal Beracun

24 April 2025   12:43 Diperbarui: 24 April 2025   12:38 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah hubungan, tidak semua hal yang terlihat “biasa” berarti sehat. Banyak pasangan baik yang baru jadian maupun yang sudah bertahun-tahun bersama terjebak dalam siklus hubungan yang sebenarnya tidak sehat, tapi tidak disadari karena sudah terbiasa menganggapnya sebagai “bagian dari cinta”. 

Padahal, hubungan yang sehat bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang bagaimana dua orang saling menghargai, memberi ruang, dan tumbuh bersama.

Ironisnya, beberapa perilaku yang sebenarnya merupakan red flag justru sering dimaklumi atau bahkan dianggap sebagai tanda kasih sayang. 

Akibatnya, tanpa sadar, seseorang bisa berada dalam hubungan yang mengikis rasa percaya diri, mengontrol kebebasan, dan merusak kesehatan mental secara perlahan. Jika dibiarkan, ini bisa menjauhkan kita dari makna cinta yang sesungguhnya.

Agar tidak terjebak lebih dalam, yuk kita bahas beberapa red flag dalam hubungan yang sering dianggap wajar, padahal sebenarnya beracun.

1. Posesif yang Disamarkan Sebagai "Perhatian"

Kalimat seperti "Aku larang kamu pergi sama teman cowok atau cewek, itu karena aku sayang" sering terdengar manis di awal. Bahkan, banyak yang menganggap itu sebagai bentuk perhatian dan kecemburuan yang wajar. 

Namun jika ditelaah lebih dalam, ini adalah bentuk kontrol yang disamarkan menjadi cinta. Cinta yang sehat tidak membatasi ruang gerak, melainkan membangun kepercayaan. 

Jika setiap langkahmu harus mendapat izin, setiap pertemanan dipertanyakan, dan setiap aktivitas diawasi, maka itu bukan lagi soal sayang itu tentang rasa kepemilikan yang berlebihan.

2. Mengatur Penampilan Pasangan

"Jangan pakai baju itu, terlalu terbuka."
"Kalau kamu sayang aku, kamu akan nurut soal cara berpakaian."

Kalimat-kalimat seperti ini sering kali dibungkus dengan alasan “melindungi” atau “menjaga”. Tapi jika diperhatikan baik-baik, ini bukan soal peduli, melainkan kontrol terhadap ekspresi diri. 

Mengatur cara berpakaian pasangan dengan dalih cinta adalah bentuk manipulasi halus yang mengikis kebebasan individu.

Setiap orang berhak memilih bagaimana mereka ingin tampil dan mengekspresikan diri. 

Jika pakaian menjadi sumber konflik terus-menerus, bahkan sampai membuat seseorang merasa bersalah hanya karena ingin tampil sesuai dirinya sendiri, ini adalah sinyal bahwa batas pribadi sudah dilanggar.

3. Sering Membandingkan dengan Mantan atau Orang Lain

"Kalau kamu kayak si A, pasti hubungan kita lebih lancar." Perbandingan semacam ini bukan motivasi, melainkan bentuk tekanan emosional yang bisa melukai harga diri. 

Ketika pasangan mulai membandingkanmu dengan orang lain entah itu mantan, teman, atau bahkan tokoh publik itu menandakan bahwa ia tidak menerima dirimu apa adanya.

Alih-alih membangun, perbandingan semacam ini justru meruntuhkan rasa percaya diri. 

Kamu akan mulai merasa tidak cukup baik, selalu merasa gagal memenuhi ekspektasi, dan perlahan-lahan kehilangan jati diri karena terlalu sibuk menjadi "versi orang lain" demi menyenangkan pasangan.

4. Menghindari Komunikasi Saat Bertengkar

Pasangan yang memilih diam berhari-hari tanpa menjelaskan masalah, lalu bersikap seolah tidak ada yang terjadi, sebenarnya sedang menciptakan pola komunikasi yang tidak sehat. 

Sikap ini sering disebut sebagai silent treatment sebuah bentuk manipulasi emosional yang bertujuan membuat pasangannya merasa bersalah, bingung, atau tidak berdaya.

Banyak yang menganggap diam sebagai cara menenangkan diri, dan itu bisa benar jika disertai komunikasi yang jelas, seperti mengatakan, “Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dulu.” 

Tapi jika diam digunakan sebagai senjata untuk menghindari pembicaraan penting, menghukum secara pasif, atau mengontrol situasi, itu sudah menjadi bentuk kekerasan emosional.

5. Bercanda yang Merendahkan

Sarkasme atau ejekan dalam bentuk "candaan" sering tidak dianggap serius, terutama ketika itu disampaikan dengan senyum atau tawa. 

Banyak yang berpikir, “Ah, itu cuma bercanda, nggak usah dibawa serius.” Namun, jika diperhatikan lebih dalam, bercanda dengan cara merendahkan atau mengejek pasangan sebenarnya adalah bentuk agresi pasif yang berbahaya.

Meskipun disampaikan dengan nada ringan, ejekan yang berulang kali dapat merusak harga diri seseorang. Kata-kata yang terdengar lucu atau tidak penting di permukaan bisa meninggalkan bekas luka emosional yang dalam. 

Ketika kamu merasa direndahkan, dipermalukan, atau diabaikan secara terus-menerus, itu bukan lagi tentang humor, tetapi tentang kekuasaan dalam hubungan yang tidak sehat.

6. Selalu Menyalahkan Pasangan Saat Ada Masalah

Hubungan yang sehat melibatkan dua orang yang saling introspeksi, bukan satu pihak yang selalu benar. 

Dalam sebuah hubungan, penting untuk ada keseimbangan, di mana kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, mendengarkan, dan berusaha memahami satu sama lain. 

Jika dalam setiap pertengkaran hanya satu pihak yang merasa selalu benar atau selalu disalahkan, itu menunjukkan adanya ketimpangan dalam hubungan.

Ketika pasangan tidak mau melihat kesalahannya sendiri, dan selalu menuding pasangan lain sebagai penyebab masalah, ini bisa menyebabkan ketegangan dan ketidakadilan. 

Sikap seperti ini menciptakan dinamika yang tidak sehat, di mana salah satu pihak merasa tidak pernah dihargai atau dipahami. 

Padahal, dalam hubungan yang sehat, kedua belah pihak harus bersedia untuk merenung, mengakui kekurangan, dan mencari solusi bersama.

Kesimpulan

Mengenali red flag adalah langkah awal untuk menjaga kesehatan hubungan. Hubungan yang baik bukan yang bebas masalah, tetapi yang mampu menghadapinya dengan komunikasi yang jujur, saling menghormati, dan rasa saling percaya. 

Setiap hubungan pasti menghadapi tantangan, namun yang membedakan hubungan sehat adalah bagaimana kedua pasangan saling mendukung dan mencari solusi bersama.

Jika kamu mulai melihat tanda-tanda red flag dalam hubungan, jangan abaikan perasaanmu. Terkadang, kita terlalu takut untuk menghadapinya atau merasa bahwa itu adalah bagian dari cinta yang wajar. 

Padahal, cinta yang sejati seharusnya membuat kita merasa dihargai dan bebas menjadi diri sendiri, bukan merasa terkekang atau tertekan.

Menghadapi red flag dengan bijak dan terbuka adalah cara terbaik untuk menjaga hubungan tetap sehat dan berkembang. 

Jangan ragu untuk berdiskusi dengan pasangan, menyampaikan perasaanmu, dan mencari bantuan jika perlu. 

Hubungan yang sehat membutuhkan usaha dari kedua belah pihak, dan mengenali serta mengatasi masalah sejak dini akan membantu menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan penuh kebahagiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun