"Budaya kerja lembur telah menjadi bagian dari kehidupan profesional di banyak negara, termasuk Indonesia."
Bagi sebagian orang, lembur dianggap sebagai tanda dedikasi dan loyalitas terhadap perusahaan, sementara bagi yang lain, ini adalah beban yang melelahkan dan mengganggu keseimbangan hidup.
Di berbagai sektor industri, terutama di perusahaan dengan tekanan kerja tinggi, lembur sering kali menjadi norma yang tak terhindarkan. Banyak karyawan merasa perlu bekerja di luar jam kerja resmi demi menyelesaikan tugas atau memenuhi ekspektasi atasan.Â
Sementara itu, perusahaan kerap menganggap lembur sebagai indikator produktivitas tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan fisik dan mental karyawan.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah lembur benar-benar meningkatkan produktivitas, atau justru menjadi bentuk eksploitasi tenaga kerja yang terselubung?
Lembur: Antara Loyalitas dan Tekanan
Di beberapa perusahaan, karyawan yang sering lembur dianggap lebih berdedikasi. Mereka dipandang sebagai pekerja keras yang siap berkorban demi kepentingan perusahaan.Â
Tak jarang, mereka juga mendapatkan pujian, insentif tambahan, atau bahkan peluang promosi lebih besar dibandingkan rekan kerja yang memilih untuk pulang tepat waktu.
Namun, ada sisi lain dari budaya ini. Banyak karyawan yang merasa terpaksa lembur bukan karena ingin, tetapi karena tekanan lingkungan kerja. Dalam beberapa kasus, lembur bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban yang tidak tertulis.Â
Mereka takut dicap tidak produktif, kurang loyal, atau bahkan dianggap tidak serius dengan pekerjaannya jika selalu pulang tepat waktu.