ARTIKEL
"Riba dalam Perspektif Islam dan Solusi Ekonomi Syariah"
Riba merupakan salah satu isu fundamental dalam kajian ekonomi Islam yang memiliki implikasi luas terhadap kehidupan sosial dan sistem keuangan. Secara etimologis, riba berarti "tambahan" atau "kelebihan" yang diambil tanpa adanya imbalan yang sah. Dalam konteks praktik ekonomi, riba dipahami sebagai pengambilan keuntungan secara berlebihan melalui transaksi pinjam-meminjam atau pertukaran barang sejenis dengan syarat adanya tambahan yang merugikan salah satu pihak. Larangan terhadap riba ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis, karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan, kejujuran, serta kemaslahatan umat.
Dalam perkembangan sistem keuangan modern, praktik riba seringkali disamakan dengan bunga bank konvensional. Hal ini menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama dan akademisi, khususnya terkait dengan relevansi dan implementasi hukum riba dalam konteks ekonomi global yang semakin kompleks. Meski demikian, mayoritas pandangan menyepakati bahwa riba menimbulkan ketidakadilan distribusi kekayaan, memperlebar kesenjangan sosial, dan melemahkan prinsip solidaritas ekonomi.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai riba menjadi penting untuk dikaji tidak hanya dari perspektif normatif agama, tetapi juga dari aspek ekonomi dan sosial. Pemahaman yang komprehensif mengenai riba diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan sistem keuangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Riba sebagai salah satu larangan pokok dalam Islam telah menjadi objek kajian yang tidak hanya terbatas pada aspek hukum agama, tetapi juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan etika. Dalam Al-Qur'an, larangan riba ditegaskan secara jelas dalam beberapa ayat, di antaranya QS. Al-Baqarah ayat 275--279 yang menegaskan bahwa praktik riba merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan dapat merusak tatanan masyarakat. Demikian pula, Hadis Rasulullah memperkuat pelarangan riba dengan menjelaskan bentuk-bentuk praktik yang tergolong ke dalamnya, serta menegaskan ancaman bagi pelaku riba, baik yang memberi, menerima, maupun mencatatnya. Hal ini menunjukkan bahwa riba bukan sekadar permasalahan teknis dalam transaksi ekonomi, melainkan persoalan moral yang memengaruhi keutuhan kehidupan sosial umat manusia.
Secara konseptual, riba dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk utama. Pertama, riba nasi'ah, yaitu tambahan yang diperoleh dari transaksi pinjaman karena adanya penangguhan pembayaran. Jenis riba ini sangat lazim ditemukan dalam praktik pinjam-meminjam berbasis bunga, di mana pihak peminjam dibebani kewajiban pembayaran lebih besar dari pokok utang hanya karena penundaan waktu. Kedua, riba fadhl, yaitu tambahan dalam pertukaran barang sejenis yang tidak seimbang. Misalnya, menukar emas dengan emas atau gandum dengan gandum dalam jumlah yang berbeda. Kedua bentuk riba ini pada hakikatnya menimbulkan ketidakadilan karena salah satu pihak mendapatkan keuntungan tanpa usaha yang sepadan, sedangkan pihak lain menanggung kerugian.
Dalam perspektif ekonomi, praktik riba menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, riba mendorong terjadinya penumpukan kekayaan pada kelompok tertentu, sehingga memperbesar kesenjangan sosial. Pihak yang memiliki modal besar akan semakin diuntungkan, sementara kelompok kecil semakin terhimpit dengan beban bunga yang menumpuk. Kedua, riba melemahkan sektor riil karena keuntungan diperoleh tanpa adanya aktivitas produktif, melainkan hanya melalui spekulasi dan penambahan bunga. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Ketiga, riba dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan karena beban bunga yang terus meningkat akan menghambat daya beli masyarakat dan melemahkan investasi jangka panjang. Oleh sebab itu, sistem keuangan berbasis riba dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang diusung oleh Islam.
Lebih jauh, riba juga memiliki implikasi etis dan spiritual. Dari sisi etika, praktik riba menyalahi prinsip keadilan distributif yang menekankan pemerataan dan keseimbangan dalam kepemilikan harta. Islam mengajarkan bahwa harta bukan hanya milik individu, melainkan juga memiliki fungsi sosial. Dengan adanya riba, fungsi sosial tersebut terabaikan, karena harta hanya berputar pada kelompok tertentu yang memiliki modal. Dari sisi spiritual, riba menumbuhkan sifat tamak, egois, dan merugikan solidaritas antarumat. Hal ini bertentangan dengan tujuan utama syariah (maqashid syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Di sisi lain, munculnya sistem ekonomi syariah menjadi alternatif yang ditawarkan untuk menggantikan praktik riba dalam kegiatan ekonomi. Melalui instrumen-instrumen keuangan syariah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah, prinsip keadilan dan kemitraan dapat diwujudkan. Sistem ini menekankan pada pembagian keuntungan dan risiko secara proporsional, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Misalnya, dalam akad mudharabah, pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) berbagi keuntungan sesuai kesepakatan, sementara risiko kerugian ditanggung bersama sesuai proporsi yang adil. Dengan demikian, larangan riba tidak hanya dipandang sebagai aspek hukum normatif, tetapi juga sebagai solusi praktis dalam membangun sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Selain itu, penerapan sistem keuangan bebas riba di lembaga keuangan syariah juga menjadi bukti nyata bahwa alternatif ini dapat diimplementasikan dalam skala global. Perbankan syariah, pasar modal syariah, dan asuransi syariah terus berkembang di berbagai negara, tidak hanya di kawasan mayoritas Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Perkembangan ini menunjukkan bahwa prinsip ekonomi Islam memiliki relevansi universal karena mengedepankan keadilan, transparansi, dan keberlanjutan.
Dengan memahami hakikat, jenis, serta dampak riba, umat Islam diharapkan lebih bijak dalam memilih instrumen keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini penting tidak hanya untuk menjaga ketaatan terhadap ajaran agama, tetapi juga demi menciptakan stabilitas ekonomi dan keadilan sosial yang menjadi tujuan utama dalam ajaran Islam. Riba bukan sekadar praktik keuangan yang dilarang, tetapi sebuah peringatan agar manusia tidak terjerumus dalam sistem yang merusak kehidupan bersama. Oleh karena itu, kesadaran kolektif untuk menghindari riba sekaligus memperkuat sistem ekonomi syariah menjadi langkah strategis menuju masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan berdaya saing dalam menghadapi tantangan global.
Untuk mengatasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik riba, diperlukan solusi yang komprehensif dan aplikatif baik dari sisi individu, masyarakat, maupun kelembagaan. Pertama, dari sisi individu, diperlukan peningkatan literasi keuangan syariah agar umat memahami bahaya riba serta mampu memilih instrumen keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam. Edukasi tentang akad-akad syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah, perlu diperkuat melalui pendidikan formal, pelatihan, maupun kajian keagamaan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih selektif dalam melakukan transaksi ekonomi dan tidak terjebak pada praktik berbasis bunga.
Kedua, dari sisi kelembagaan, perlu adanya penguatan sistem keuangan syariah sebagai alternatif nyata pengganti praktik riba. Lembaga keuangan syariah harus meningkatkan kualitas produk, layanan, serta transparansi agar dapat bersaing dengan sistem konvensional. Selain itu, dukungan regulasi pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem keuangan syariah yang kondusif. Regulasi yang tegas mengenai larangan praktik riba, disertai insentif bagi lembaga keuangan syariah, akan mendorong pertumbuhan industri keuangan bebas riba secara berkelanjutan.
Ketiga, solusi juga perlu diarahkan pada penguatan ekonomi sektor riil. Islam mendorong aktivitas ekonomi yang produktif, seperti perdagangan, investasi halal, serta pengelolaan usaha berbasis kemitraan. Dengan memperkuat sektor riil, masyarakat dapat memperoleh keuntungan yang adil melalui aktivitas nyata, bukan melalui tambahan bunga yang memberatkan. Hal ini akan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih merata dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Keempat, dari sisi sosial dan moral, perlu ditanamkan kesadaran bahwa menghindari riba bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga kebutuhan bersama untuk menciptakan keadilan. Masyarakat harus membangun budaya solidaritas, misalnya melalui penguatan zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Instrumen sosial tersebut dapat menjadi sarana distribusi kekayaan yang lebih adil dan membantu kelompok yang lemah tanpa harus terjerat dalam praktik riba.
Dengan menerapkan solusi-solusi tersebut, diharapkan sistem ekonomi umat dapat terbebas dari jeratan riba dan bertransformasi menuju model ekonomi yang lebih adil, beretika, dan berkelanjutan. Riba tidak hanya harus dihindari karena larangan agama, tetapi juga karena implikasi destruktifnya terhadap stabilitas ekonomi dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, solusi komprehensif ini harus diupayakan secara konsisten oleh seluruh komponen masyarakat, mulai dari individu hingga negara.
Riba merupakan salah satu larangan pokok dalam Islam yang memiliki dampak luas terhadap aspek spiritual, sosial, maupun ekonomi. Praktik riba tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah struktural, seperti kesenjangan sosial, ketidakstabilan ekonomi, serta melemahkan sektor riil. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai hakikat, jenis, dan dampak riba sangat penting agar umat Islam mampu menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai alternatif, Islam menawarkan sistem keuangan syariah yang berlandaskan pada prinsip keadilan, kemitraan, dan transparansi. Melalui instrumen-instrumen syariah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah, masyarakat dapat melakukan aktivitas ekonomi secara halal sekaligus menjaga nilai-nilai etika dan solidaritas sosial. Dengan dukungan edukasi, regulasi pemerintah, serta partisipasi aktif masyarakat, solusi bebas riba dapat terwujud dalam skala individu maupun kelembagaan.Dengan demikian, larangan riba tidak hanya dipandang sebagai aturan normatif keagamaan, tetapi juga sebagai upaya membangun tatanan ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan bermoral. Kesadaran kolektif untuk meninggalkan praktik riba dan memperkuat ekonomi syariah menjadi langkah strategis menuju kesejahteraan bersama serta tercapainya maqashid syariah dalam kehidupan bermasyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI