Krisis reputasi brand di sosial media merupakan tantangan besar yang semakin sering dihadapi oleh perusahaan atau brand di era digital saat ini. Media sosial yang sangat dinamis memungkinkan isu kecil berkembang dengan sangat cepat yang menjadikan krisis besar dalam hitungan hari atau jam bahkan menit. Ketika sebuah brand mengalami krisis reputasi dampak yang muncul bukan hanya sebatas hujatan negatif di media sosial, tetapi bisa meluas ke boikot konsumen, penurunan penjualan, hingga tuntutan hukum. Contoh nyata krisis reputasi terjadi pada beberapa brand di Indonesia pada tahun 2024-2025. Salah satunya Dough Lab menghadapi viralnya video tikus di etalase toko mereka yang menimbulkan reaksi negatif bagi brand tersebut. Respon cepat dengan penutupan sementara toko dan permintaan maaf terbuka berhasil memulihkan kepercayaan pelanggan walau tidak sepenuhnya atau secara bertahap. Namun, respon harus konsisten dan transparan agar tidak memperburuk situasi, untuk membangun Kembali reputasi toko tersebut.
     Selain Dough Lab, beberapa brand lain juga menghadapi krisis reputasi signifikan pada 2024-2025. Contohnya, brand Hamlin yang viral karena dugaan penipuan produk, di mana produk bermerek Hamlin ternyata adalah produk replika dari brand lain dengan harga yang sangat mahal. Krisis ini diperparah oleh klarifikasi yang kurang meyakinkan dari pihak Hamlin, sehingga kepercayaan konsumen turun dan akun Shopee Mall mereka dicabut.
     Contoh lain adalah Jatinangor House yang terkena sorotan negatif akibat video kondisi dapur yang tak memenuhi standar kebersihan viral. Penutupan sementara gerai dan tindakan disiplin terhadap karyawan tidak cukup memulihkan citra, karena publik menilai perusahaan kurang memerhatikan kesejahteraan karyawan. Kasus lain datang dari Sec Bowl, sebuah restoran yang videonya viral karena mencuci alat masak di toilet. Hal ini memicu kecaman luas dan menyebabkan penutupan permanen cabang terkait serta pemecatan karyawan yang melanggar SOP.
     Krisis reputasi ini menunjukkan pentingnya penanganan cepat dan transparan, komunikasi krisis yang efektif, serta perbaikan menyeluruh sehingga publik merasa dihargai dan percaya kembali kepada brand. Brand harus siap menjalin komunikasi dua arah, menerima kritik, dan melakukan branding yang konsisten untuk membangun kepercayaan. Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa krisis reputasi tidak hanya berasal dari kesalahan internal, tetapi juga faktor eksternal seperti peran influencer yang salah langkah. Strategi seleksi influencer yang sesuai dengan nilai brand dan pengawasan ketat wajib dilakukan untuk menghindari risiko citra buruk.
     Selain itu, krisis reputasi brand juga kerap muncul dari pemasaran melalui influencer. Perilaku atau pernyataan kontroversial influencer dapat langsung merusak citra brand. Oleh karena itu, brand harus menjalin kerja sama dengan influencer yang sejalan dengan nilai brand, mengadakan pengawasan ketat, dan memastikan adanya transparansi kontrak dan konten. Mikro dan nano influencer kini mulai dipilih untuk mengurangi risiko sekaligus meningkatkan keaslian pesan pemasaran. Secara keseluruhan, branding yang kuat dan pengelolaan komunikasi krisis yang tepat adalah kunci dalam menjaga serta membangun kembali reputasi brand di era digital. Brand harus responsif, jujur, membuka ruang aspirasi masyarakat, dan terus melakukan inovasi strategi pemasaran agar tetap relevan dan dipercaya oleh konsumen luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI