Mohon tunggu...
Aminullah
Aminullah Mohon Tunggu... Penulis - scribo ergo sum

buruh tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karya Fiksi dan Media Sosial: Alasan Milenial Tidak Bahagia

16 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 16 Oktober 2020   14:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi remaja yang tidak bahagia sebab media sosial/NYPost

"Hope in reality is the worst of all evils because it prolongs the torment of man"

-Nietsche

Film, komik, novel, dan karya fiksi ragam bentuk lain selalu bisa menghibur kita dan kemajuan teknologi membuat kemudahan untuk mengkonsumsinya. Kerap saya temui ketika naik bis kota, selagi menunggu bis sampai pada tujuan ada kaula muda yang sedang asyik nonton film Hollywood bajakan di ponselnya. 

Bahkan, saya pernah memergoki seorang perempuan muda satu almamater yang keasyikan nonton drama Korea yang berpuluh-puluh episode itu tengah celingak-celinguk melihat bis kota telah sampai ke tujuan akhir karena melewatkan tempat turun yang ditujunya. Saya juga pernah memergoki kawan saya yang membaca novel Negeri 5 Menara ketika dalam perjalanan ke kota sebelah menggunakan kereta. 

Kegiatan tersebut saya teliti dengan iseng dan sederhana, yakni dengan observasi ketika naik kendaraan umum. Hasilnya cukup menarik, simpulan saya rupanya cukup banyak sekitar 65% anak-anak muda rentang usia sekitar 18-25 tahun menonton film drama Korea atau film Hollywood. 

Mereka dapat mudah diteliti karena pola keberulangan yang serupa, yakni memiringkan pontar, mengenakan headset, dan melupakan tempat turun yang ditujunya. Sebanyak 20% menamatkan media sosial Instagram, sedangkan sisanya membaca komik dan novel. 

Poin saya yang perlu digarisbawahi adalah banyaknya frekuensi interaksi kaula muda dengan ponselnya.

Menurut pembacaan saya tentang psikoanalisis, manusia perlu mengeluarkan ekspresinya terhadap sesuatu yang dialami baik langsung maupun tidak langsung. Kaula muda, sebagai generasi yang dekat dengan teknologi, mengeluarkan ekspresinya di media sosial. Media yang menampung curahan ekspresi biasanya pada Instagram, Facebook, WhatsApp, Line, dan Twitter.     

Curahan kawan-kawan saya yang penuh dialek Sunda, saya temui lebih banyak berupa keluhan, semisal "da aku mah apa atuh" sebagai bentuk ekspresi kesedihan dan berupa "semua akan baik-baik ajah" bentuk ekspresi harapan. Lantas, saya dengan cepat membuat tanda tanya menghubungkannya: "apakah ini semua ada hubungannya dengan kegiatan konsumsi film, komik, dan novel?"

Ada, menurut saya dari pembacaan buku non-fiksi Okky Madasari yang terbaru. Konten yang diangkat dalam karya fiksi film, komik, dan novel menjadi jantung perkaranya. Drama Korea pada umumnya memiliki konten yang berkisah tentang kesuksesan kisah cinta kehidupan urban, dengan penampilan fisik para tokohnya yang tampan dan cantik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun