Mohon tunggu...
Arthur
Arthur Mohon Tunggu... Ordinary Man

Passionate PoliSci Blogger

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menelusuri Fenomena "Guns vs Butter" dalam Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto

15 Agustus 2025   20:55 Diperbarui: 15 Agustus 2025   20:55 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "Guns vs Butter" mulai mencuat seiring dengan masifnya pembelian alustista yang dilakukan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Secara sederhana, istilah tesebut merupakan penggambaran dari pilihan penganggaran negara antara pengeluaran militer dan program sosial. Konsep ini menegaskan bahwa alokasi anggaran yang lebih besar untuk peralatan militer ("Guns") akan mengurangi ruang fiskal untuk kesejahteraan publik ("Butter"), dan begitu pula sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, dilema ini menjadi sangat krusial karena anggaran yang terbatas harus memenuhi kedua sisi tersebut guna menjamin kemajuan ekonomi sekaligus menjaga kedaulatan negara.

Jika melihat kondisi geopolitik global saat ini, modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) sangat penting dilakukan oleh Indonesia dengan berbagai alasan. Alasan utama mengapa itu penting adalah molornya realisasi proyek Minimum Essential Force (MEF) yang merupakan acuan minimal tingkat kekuatan militer untuk melindungi kepentingan strategis (sesuai UU No.34/2004). Alasan lainnya, kekuatan militer sangat penting sebagai alat "bargaining power" dalam pergaulan internasional sekaligus meningkatkan efek pencegah (deterrence) terhadap ancaman keamanan dan pertahanan negara.

Sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Presiden Prabowo mendorong percepatan modernisasi militer melalui pengadaan alutsista secara intensif. Langkah ini tercermin dalam kenaikan signifikan usulan pagu Kementerian Pertahanan tahun 2025 sebesar 12 persen dibanding tahun sebelumnya, dari 139 triliun menjadi 155 triliun. Peningkatan ini tidak hanya mencerminkan besarnya kebutuhan untuk memperbarui sistem persenjataan, tetapi juga menunjukkan pergeseran prioritas di dalam anggaran pertahanan, di mana proporsi belanja modal (pengadaan alutsista) semakin dominan dibandingkan belanja personel.

Selama masa kepemimpinan Presiden Prabowo di Kementerian Pertahanan hingga sekarang menjabat sebagai Presiden, Indonesia gencar melakukan kesepakatan pembelian alutsista secara besar-besaran. Sejumlah pembelian dan kesepakatan ini, meliputi jet tempur Rafale (42 unit), kapal selam Scorpene Evolved (2 unit dengan alih teknologi dan produksi di dalam negeri), dan pembangunan kapal fregat Merah Putih oleh PT PAL serta OPV 90 M oleh PT Noahtu, kemudian sebagai Presiden, ia telah menyaksikan penandatanganan 27 kontrak alutsista senilai 33 triliun dalam penyelenggaraan Indo Defence 2025, serta menjajaki kemungkinan pengadaan jet tempur generasi kelima KAAN dari Turki dan pembicaraan akuisisi rudal BrahMos dari India--Rusia.

Kombinasi pembelian dari berbagai negara menunjukkan fokus Indonesia hanya menutup kekurangan jumlah alutsista, bukan memilih sistem terpadu dan berkesinambungan. Berbagai analis militer menilai, Indonesia membeli senjata "apa yang tersedia di pasar" untuk menggenapi defisit kuantitas, sementara interoperabilitas dan integrasi bukan menjadi prioritas. Tentu ini akan menjadi persoalan yang harus diselesaikan, disamping persoalan lainnya mengenai UU TNI terbaru yang memperluas tugas TNI ke operasi non-militer (seperti ketahanan pangan), yang justru mendorong kenaikan biaya personel dan logistik dalam negeri.

Disisi lain, anggaran negara harus juga membiayai kebutuhan lain yang tidak kalah mendesak. Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 3 persen dari PDB untuk pendidikan, tergolong rendah dibandingkan sesama negara anggota G20 yang rata-rata mengalokasikan 5 hingga 6 persen dari jumlah PDB-nya. Konsekuensi dari hal tersebut, capaian belajar siswa Indonesia jauh tertinggal di tingkat global, dengan skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 untuk Matematika sebesar 379 dan Membaca 371, jauh di bawah negara ASEAN lain seperti Vietnam maupun Malaysia. Di sektor kesehatan, pemerintah meningkatkan anggaran hingga 255,3 triliun pada 2021, atau sekitar 9,4 persen dari APBN guna pembangunan fasilitas kesehatan dan pembiayaan layanan BPJS Kesehatan. Langkah ini krusial mengingat kondisi geografis kepulauan dan tekanan pandemi, namun sistem kesehatan masih dihadapkan pada masalah akses serta distribusi tenaga medis dan obat-obatan yang terbatas, khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Jika kita melihat secara empiris, negara dengan alokasi anggaran yang lebih banyak untuk sektor sosial ekonomi, cenderung mendapatkan hasil pembangunan manusia (human development) yang lebih baik. Investasi pendidikan dan kesehatan akan membangun sumber daya manusia, inovasi, dan daya saing jangka panjang. Jika alokasi pertahanan terlalu besar melebihi kebutuhan minimal, maka "opportunity cost"-nya bisa mengorbankan kualitas SDM dan kesejahteraan rakyat.

Permasalahan utamanya disini. Alokasi anggaran Indonesia berada dalam tekanan dua kebutuhan besar. Di satu sisi, penguatan sektor pendidikan dan kesehatan menjadi fondasi penting untuk melahirkan generasi berkualitas, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, serta memperkokoh posisi negara dalam persaingan global. Di sisi yang lain, kemampuan pertahanan nasional saat ini belum memenuhi kebutuhan minimal, baik dari segi jumlah maupun modernitas alutsista, sehingga menuntut peningkatan belanja militer. Kondisi ini membuat alokasi untuk sektor sosial ekonomi tidak boleh diabaikan, namun kebutuhan memperkuat pertahanan juga mendesak.

Porsi anggaran militer Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pengeluaran anggaran militer Indonesia pada 2023 mencapai sekitar 9,5 miliar USD atau 0,7 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (13,2 miliar USD atau 2,7 persen PDB) serta negara ASEAN lain seperti Thailand dan Malaysia yang mengalokasikan lebih dari 1 persen PDB-nya untuk sektor pertahanan. Sebaliknya, Indonesia secara konsisten memberikan porsi besar untuk belanja sosial, dengan alokasi pendidikan minimal 20 persen dari APBN (3--4 persen PDB), dan belanja kesehatan sekitar 6 persen dari APBN. Dengan kata lain, Indonesia menempatkan prioritas lebih tinggi pada pendidikan dan kesehatan, sementara anggaran pertahanan tetap relatif kecil sebagai bagian dari keseluruhan struktur ekonomi negara.

Sebagai penutup dan kesimpulan, dilema mengenai permasalahan ini tentu harus dicermati secara mendalam dengan solusi "win-win solution" sehingga tidak mengorbankan satu dari dua kepentingan tersebut. Modernisasi militer Indonesia perlu selaras dengan pembangunan sosial untuk mencapai keseimbangan nasional. Secara teoritis, keniscayaan "Guns vs Butter" tidak dapat dihindari. Jika menggunakan pandangan Realisme, penekankan akan terjadi pada prioritas sekuriti (keamanan dan persenjataan), sementara jika melalui Liberalisme dan Teori Pembangunan, sorotan akan tertuju pada human security dan dampak jangka panjang investasi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun