Mohon tunggu...
Arthur
Arthur Mohon Tunggu... Ordinary Man

Passionate PoliSci Blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik

ASEAN dan Dilema yang Tak Pernah Usai

1 Agustus 2025   08:42 Diperbarui: 1 Agustus 2025   08:42 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pecahnya konflik bersenjata yang kembali terjadi antara Kamboja dan Thailand pada pertengahan tahun ini, menegaskan bahwa ketegangan bilateral di kawasan Asia Tenggara masih menghantui dengan potensi eskalasi konflik yang lebih besar. Dalam insiden terbaru, berbagai media melaporkan sedikitnya 43 korban jiwa dan lebih dari 300.000 warga terpaksa mengungsi dari zona perbatasan yang disengketakan sepanjang 817 km, khususnya di wilayah Pegunungan Dngrk, mencakup Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan distrik Kantharalak di Thailand.

Berkaitan dengan konflik ini, sorotan tidak hanya tertuju pada hubungan bilateral yang memanas antara Kamboja dan Thailand, namun juga terhadap peran ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Dalam kapasitasnya sebagai institusi negara-negara di kawasan, respon ASEAN terbatas pada pernyataan normatif yang dilakukan oleh ketua ASEAN saat ini (Malaysia) yang tidak disertai langkah diplomatik yang mengikat. Tidak ada inisiatif konkret yang diambil untuk mendorong proses mediasi, gencatan senjata, atau penyelesaian konflik secara terkoordinasi di tingkat kelembagaan. Keterbatasan ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi pembentukan ASEAN. Meskipun nilai-nilai tersebut mencerminkan semangat menjaga stabilitas dan kesetaraan antar anggota, dalam praktiknya justru menjadi penghambat dalam merespon krisis yang memerlukan tindakan cepat dan efektif. Akibatnya, ASEAN dinilai mengalami stagnasi kelembagaan yang membuatnya belum mampu memenuhi peran strategis dalam meredam konflik antar negara anggotanya.

Fenomena lemahnya "kekuatan" ASEAN terhadap konflik yang terjadi antara Kamboja dan Thailand mencerminkan persoalan mendasar yang berakar pada konstruksi normatif serta desain kelembagaan organisasi ini. Ketika ASEAN gagal menunjukkan kapasitas intervensi atau mediasi yang konkret dalam menghadapi konflik antar anggotanya, maka analisis deskriptif semata tidak akan menyentuh akar persoalan. Untuk memahami secara lebih komprehensif kecenderungan ASEAN yang pasif dan terbatas pada pernyataan normatif, diperlukan kerangka teoritis yang mampu menjelaskan secara empiris dan kontekstual. Dalam tulisan ini, dua pendekatan hubungan internasional yang relevan digunakan sebagai alat analisis adalah teori Norm Localization yang dikembangkan oleh Amitav Acharya, serta pendekatan Institutional Design sebagaimana dirumuskan oleh Abbott dkk. Kedua pendekatan ini dapat menjelaskan secara saling melengkapi bagaimana norma-norma regional terbentuk, diadaptasi, dan dilembagakan, serta bagaimana desain institusional ASEAN secara struktural memengaruhi perilaku bersama (kolektif) dalam merespon krisis di kawasan.

Paradigma Norm Localization menjelaskan bahwa norma-norma global tidak serta merta diadopsi oleh negara-negara ASEAN, melainkan disesuaikan dengan kerangka kepercayaan, praktik, dan sensitivitas politik yang berlaku secara lokal. Dalam konteks konflik Kamboja-Thailand, norma non-interference (non-intervensi) yang awalnya berfungsi sebagai pedoman umum hubungan antar negara, telah berubah menjadi prinsip yang kaku dan absolut sehingga menghambat respon kolektif terhadap konflik. Hal ini tercermin dalam sikap Thailand yang menegaskan bahwa penyelesaian konflik harus dilakukan secara bilateral tanpa campur tangan pihak eksternal. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip "ASEAN Way", dimana penyelesaian sengketa dipandang sebagai urusan domestik masing-masing negara. Meskipun demikian, gagasan intervensi dari luar tidak sepenuhnya ditolak, tetapi dialihkan ke format yang dianggap lebih sesuai, yakni perundingan langsung antar negara yang setara (bilateral). Menurut Teori Norm Localization, proses ini disebut dengan lokalisasi norma, yakni ketika norma internasional disesuaikan agar sejalan dengan nilai dan cara pandang lokal. Dalam konteks ASEAN, norma global tentang "persahabatan dan kerja sama" difilter menjadi kewajiban menjaga hubungan baik tanpa campur tangan langsung terhadap urusan internal negara lain. Padahal, di kawasan lain semisal African Union, norma yang sama sering kali dimaknai lebih aktif, misalnya dalam bentuk mediasi multilateral, intervensi kolektif, atau sanksi bersama terhadap negara yang berkonflik. Penyesuaian makna inilah yang menyebabkan ASEAN cenderung pasif dalam menghadapi konflik internal di kawasan.

Di samping faktor normatif, keterbatasan kapasitas ASEAN juga bersumber dari desain kelembagaan yang secara struktural membatasi efektivitas organisasi regional ini dalam menghadapi krisis. Sejak disahkannya Piagam ASEAN pada 2008 sebagai kerangka hukum utama organisasi, kelembagaan ASEAN secara formal dibentuk dengan logika yang lebih mengedepankan stabilitas dari pada kapasitas. Sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN, keputusan organisasi harus dicapai melalui konsensus dan kolektif kolegial, yang menjadikan proses pengambilan keputusan sangat lambat dan mudah dibatalkan (veto) oleh satu negara anggota. Kerangka ini rentan terhadap masalah efisiensi: kesepakatan sering dirumuskan samar, mekanisme penegakan lemah, dan implementasi sepenuhnya bergantung pada kemauan negara anggota. Dalam konteks konflik antar anggota, dalam Pasal 23 Piagam ASEAN membuka ruang bagi pihak bersengketa untuk meminta "pendekatan persuasi antar negara, konsolidasi, atau mediasi" dari Ketua ASEAN atau Sekretaris Jenderal. Namun, mekanisme tersebut bersifat sukarela tanpa sanksi atau prosedur pemaksaan. Akibatnya, meski ada kerangka kelembagaan untuk mediasi, ASEAN tidak dapat memobilisasi tindakan konkret kecuali atas permintaan pihak terkait, sehingga respon cepat saat krisis nyaris mustahil terwujud. Berkaca pada kasus Kamboja-Thailand, resolusi gencatan senjata justru tercapai lewat pertemuan yang dimediasi negara ketua (Malaysia) secara informal, bukan lewat mekanisme formal dalam ASEAN.

Dalam pemaparan ini, jelas bahwa ASEAN mengalami stagnansi akibat terkungkung dalam prinsip dasar yang dianutnya. Tanpa adanya reformasi terhadap struktur normatif maupun desain kelembagaan, ASEAN memiliki resiko untuk tetap menjadi "forum seremonial" yang absen dalam kondisi-kondisi krusial di kawasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah ASEAN mampu bertransformasi menjadi institusi regional yang adaptif terhadap tantangan keamanan kontemporer, atau akan terus terjebak dalam simbolisme politik semu yang tidak produktif? Situasi ini tentu membuka ruang penting bagi kajian lebih lanjut, apakah terdapat kemungkinan evolusi norma dan institusi ASEAN agar lebih responsif dalam menghadapi dinamika konflik di masa yang akan datang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun