Mohon tunggu...
Mat Ares
Mat Ares Mohon Tunggu... Buruh Pendidikan di suatu sekolah

Seseorang yang belum berhenti mencari dan terus mencari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Kemandirian Dalam Pendidikan (Catatan Reflektif Pemikiran J.Drost dan Alfred Adler)

16 Juni 2025   23:45 Diperbarui: 17 Juni 2025   07:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam KBBI, pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari pengertian ini, secara tidak langsung kita mendapati tujuan pendidikan secara universal, yaitu mengantarkan seorang anak (peserta didik) menjadi seorang dewasa. Salah satu indikator seseorang disebut dewasa adalah bahwasannya dia mandiri, sebagaimana tersirat disebutkan oleh J.Drost. Pandangan J. Drost ini juga didukung oleh seorang psikolog, Alfred Adler, yang intinya muara dari pendidikan itu sendiri adalah kemandirian yang bertopang dengan kesadaran memiliki kemampuan dan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri.

Lalu bagaimana kemandirian bisa terwujud dalam diri seseorang melalui proses pendidikan itu sendiri? Adler menegaskan ada pembagian tugas dalam individu yang secara sederhana kita tidak boleh mengintervensi pekerjaan orang lain, begitu juga sebaliknya, jangan sampai orang lain mengintervensi pekerjaan kita. Terdengar adem sekali bukan. Tapi, bagi yang salah paham, pernyataan Adler ini akan membuka konfrontasi pikiran yang menunjukkan Adler sangat individualis atau dari pernyataan ini berpeluang meniadakan budaya saling membantu dan tolong menolong antar sesama umat manusia. Marilah kita luruskan sebelum terlalu jauh. Maksud dari intervensi disini adalah terlalu "membantu" (baca: terlalu ikut campur) pekerjaan orang lain dari nol sampai selesai, sehingga kontribusi orang yang ditugasi untuk mengerjakan hanya sedikit atau bahkan tidak ada.

Apabila h

Dari fenomena ini, J.Drost menguatkan pendapat Adler sendiri secara konkret. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menerima keadaan anak itu sendiri; pandai, bodoh, aktif, pendiam dan lain-lain. Kemudian secara akademis dan keterampilan hidup, orang tua dan guru haram hukumnya benar-benar membantu pekerjaan si anak mulai dari pekerjaan domestik di dalam rumah seperti menyapu, mengepel, menyetrika, mencuci piring dan lain-lain. Atau tugas-tugas akademiknya seperti mengerjakan PR. Pemandangan yang sering terjadi, orang tua bahkan terlihat lebih sibuk dengan pekerjaan sekolah anak-anaknya ketimbang mengajarkan "cara menyelesaikan" pekerjaan tersebut. Kalau boleh saya singgung di dunia persekolahan, ini juga terjadi. Dalam gelar karya, pasti guru-gurunya yang lebih sibuk memikirkan konsep, melakukan pekerjaan tangan yang harusnya diselesaikan murid dan murid-murid hanya asyik bermain dan terima beres saja. Kalaupun melibatkan, hanya segelintir, tidak semuanya. Atas nama "kasih sayang" dan "membantu", mereka melakukan itu. Padahal sudah jelas-jelas, hal ini membuat kemampuan anak tumpul. Lebih buruk lagi, akan tercipta pikiran " serba terima jadi" dan "ketergantungan" di alam bawah sadar mereka. Ketika dua pikiran ini terbentuk, si anak pun akan terbiasa lari dari kenyataan dan lepas tanggung jawab sehingga merepotkan orang lain. Inilah dosa-dosa orang tua kepada anak-anak, karena egoisme yang berlabel kasih sayang dan kasihan, sehingga egoisme itu menurun terus kepada anak keturunannya dan menciptakan lingkaran setan yang tiada berujung.

Lalu apakah orang dewasa tidak boleh membantu? Pertanyaan menarik ini harus kita jawab secara sederhana dengan suatu perandaian, "jangan berikan seseorang ikan, tapi ajari cara memancingnya". Memberikan ikan disini merupakan lambang dari bantuan yang sifatnya memanjakan si anak dan hanya temporer belaka, karena kita tidak mengajarkan proses untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka yang harusnya kita lakukan adalah "ajari dia memancing" sebagai simbol dari "membantu si anak untuk mengembangkan potensinya dengan ilmu, keterampilan atau media yang tersedia" agar nantinya si anak dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri.

Agar kemandirian semakin mantap dalam diri anak, sudah seharusnya kita menanamkan pikiran "berani salah". Dalam kehidupan yang saya alami, kesalahan seakan-akan tidak diberi ruang, kalau salah langsung dimarahi, dicap tidak becus dan lain-lain sehingga mental anak menjadi penakut, minim inisiatif, tunggu komando saja daripada kena "semprot" karena melakukan kesalahan. Padahal, sederhana saja, si orang tua atau guru tinggal memberi tahu mana yang keliru dan dibimbing serta dibantu untuk menyelesaikan kesalahannya sehingga si anak mulai percaya diri untuk bersikap mandiri. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun