Mohon tunggu...
Mat Ares
Mat Ares Mohon Tunggu... Buruh Pendidikan di suatu sekolah

Seseorang yang belum berhenti mencari dan terus mencari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kehati-Hatian Kita Terhadap Pendidikan Nilai yang Nir-Nilai

4 Mei 2025   19:23 Diperbarui: 4 Mei 2025   19:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari baru saja muncul seukuran tinggi galah. Teriknya belum kerasa betul. Di pagi yang cukup syahdu itu, ramai-ramai anak Madrasah As-Salam melakukan shalat dhuha di aula madrasah. Khusyuk, tanpa suara. Seakan-akan kalaupun jatuh satu jarum, mungkin akan terdengar oleh satu aula.

Pelaksanaan shalat dhuha pun selesai. Seperti menjadi tradisi, setelah shalat pasti ada siswa yang ditugaskan berdoa. Kebetulan petugas yang terjadwal adalah si Dullah, siswa yang terkenal cengengesan itu. Ketika memegang pengeras suara dan sudah berusaha sebaik mungkin mengkondisikan dirinya agar tidak cengengesan, Dullah pun berdoa. Teman-temannya pun terkesima melihat betapa khusyuknya dia memimpin doa. Ketika di pertengan, pengeras suara tiba-tiba macet sehingga doa-doa yang terdengar putus-putus. Dus, Dullah mengetuk-ngetuk pengeras suara dan tanpa tedeng aling-aling dari penghujung shaf pertama, Pak Mansur merebut pengeras suara dengan paksa sehingga pengeras suara pun terpental. "Sudah, gak usah makai itu. Buat gak khusyuk aja. Dasar kamu ini !". Beliau berkata keras dengan muka merah padam

Sekitar tiga shaf di depan terhenyak menyaksikan kejadian barusan. Akhirnya doa pun dilanjutkan tanpa pengeras suara. Akan tetapi, Dullah langsung merasa sedikit jengkel. Merasa seolah-olah disalahkan. Sehabis dhuha, dia setengah berbisik kepada temannya, Kholil. "Lil, aku mau ngehadep Pak Jali soal ini. Mau curhat aku ke beliau." Kholil pun mengangguk. Mat Jali, nama aslinya, memang terkenal dekat dengan Dullah. Bisa dibilang, "pawangnya".

Setelah menyeruput tehnya yang sepat tanpa gula itu, Mat Jali mendengarkan keluh kesah Dullah. Tibalah Dullah pada suatu pernyataan, "Pak, kata bapak, kalau orang marah pasti disuruh wudhu, alamat kemarahannya dalam hati padam kan. Lalu bagaimana dengan orang berwudhu, tapi hatinya masih terbakar api amarah? Lalu juga, Pak Mansur pernah berpidato keras-keras di aula. Katanya sholat itu wajib dilaksanakan, karena mencegah perbuatan keji dan mungkar. Tapi kenapa beliau malah melakukan sebaliknya? Lama kelamaan Islam yang katanya rahmatan lil 'alamin ini malah jadi seram, ya kan? Apalagi Pak Mansur itu terkenal guru agama yang selalu menjadi rujukan guru-guru disini dan pasti sudah khatam puluhan kitab. Ya kan, pak? Lalu, ibadah model apa yang kita lakukan selama ini kalau tidak menimbulkan ketenangan, Pak? Malah jadi gaduh begini "

Mat Jali dan Kholil pun diam tersentak. Baru kali ini Dullah yang terkenal cengengesan malah mulai mengomentari status quo guru agama yang tidak memberi contoh yang baik baginya. Malah berlawanan arah.

Kisah fiktif diatas merupakan gambaran secara umum pendidikan kita hari ini. Ditasbihkan menjadi "sang pencerah dari kegelapan", sudah pasti guru harus adil dalam perkataan dan perbuatan, sudah pasti apa yang diucapkan harus sejalan dengan perbuatan sehari-hari. Kita seringkali mencampur adukkan bahkan serampangan memaknai pendidikan itu sama dengan pengajaran, padahal dua hal ini berbeda. Sederhananya, pengajaran merupakan bagian dari pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan lebih dari itu, dia tidak hanya menyentuh fikiran belaka, tapi jiwa dan hati orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan. Kiranya kita setuju dengan pernyataan Tan Malaka, "tujuan dari pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan".

Pendidikan nilai atau kita sederhanakan dengan pendidikan akhlak pada hakikatnya termasuk ke dalam hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Artinya, memang tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikum formal apalagi diatur dalam bentuk silabus, tetapi harus ada dalam setiap sekolah. Pendidikan nilai selalu menjadi branding sekolah dalam setiap promosinya. Lebih-lebih sekolah berbasis Islam. Kita selalu berbangga dengan kebiasaan seperti kebiasan menebar salam, hormat kepada yang tua dan menyanyangi yang muda, pembiasaan shalat dhuha sebelum belajar, shalat wajib terkontrol selama di sekolah, mengaji kitab suci dan lain-lain. Tapi, pernahkah kita bertanya, apakah yang kita lakukan ini hanyalah rutinitas belaka, atau mengandung nilai-nilai sebenarnya?

Pernahkah kita berpikir, bahwa pendidikan nilai itu pada hakikatnya sejalan dengan metode pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pengontrolan diri. Pernahkah kita mengajak anak-anak didik kita berpikir, seharusnya kalau kita sudah beribadah, harusnya diimbangi untuk memulai berhenti berkata kotor terhadap teman, berbuat buruk kepada sesama, menjaga alam, dan lain-lain? Artinya, pendidikan nilai harus benar-benar tertatanam dalam benak anak didik sehingga pendidikan nilai bukan sekedar menjadi pajangan promosi belaka.

Lebih tegasnya lagi, pendidik nilai tidak akan bisa terwujud kalau tidak dibiasakan. Stephen R.Covey merumuskan metode dalam menerapkan pembiasaan, salah satunya adalah membangkitkan kepercayaan. Bagaimana anak didik mau percaya dengan sang pendidik, kalau ia tidak memberikan teladan atau contoh langsung di depan mukanya? Menjadi role model adalah suatu kemestiaan, karena anak didik cenderung tergerak/bergerak terhadap apa yang dilakukan oleh idolanya. Karena di dalam idola tersebut, terdapat karakter yang ingin dicapainya.

Lalu, apakah pendidikan nilai sudah benar-benar kita pahami lalu kita laksanakan bersama secara bertahap dan dilaksanakan dengan iklim bahagia namun tegas agar tumbuh budaya positif di lembaga kita, atau dalam menjalankan pendidikan nilai kita memakai metode "perintah, paksaan dan hukuman" tetapi kita malah melakukan kebalikannya sehingga anak didik menjalankan pendidikan nilai dengan ketaatan semu diliputi dengan rasa jengkel, ketakutan dan kemuraman karena takut dicap salah dan takut dihukum walaupun hati mereka rasanya ingin berucap "anda saja tidak menjadi contoh bagi kami"?  Mari bersama-sama kita bertaubat nasuha dari hal-hal seperti ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun