Kamis malam, pukul 22.00.
Langit Jakarta menahan gerimis yang ragu. Di kamar kos berukuran tiga kali empat meter, Alvan duduk bersandar di kursi kayu reyot, menatap layar laptopnya yang masih menyala. Matanya kelelahan, tapi pikirannya belum bisa tenang. Ia baru saja mengunggah video berdurasi 58 detik ke akun Instagram-nya, @alvanlegal. Sebuah unggahan yang ia tahu akan memancing kontroversi.
"Tidak ada keadilan tanpa keberanian."
Begitu bunyi caption-nya.
Isi video itu adalah rekaman saat Rico, teman satu fakultasnya, dipukuli oleh satpam kampus ketika sedang meliput aksi demonstrasi mahasiswa. Rico adalah mahasiswa jurnalistik semester tujuh. Dalam video, terlihat dengan jelas satu tendangan mendarat di perut Rico, lalu seseorang menarik rambutnya dan membantingnya ke lantai.
Alvan gemetar saat memutar ulang video itu. Bukan karena takut, tapi karena marah. Bukan karena ia ingin viral, tapi karena ia merasa diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap hati nurani.
Ia hanya mahasiswa hukum semester lima. Tapi malam itu, ia merasa seperti seorang pembela kebenaran.
Namun, kebenaran di era digital bukan perkara sederhana.
Notifikasi mulai berdatangan.
--- "Lo yang upload video satpam itu, Van?"
--- "Hati-hati, bisa masuk pasal loh."
--- "Pak dekan nyari lo. Katanya bikin gaduh nama fakultas."
--- "Ortu Rico disuruh damai, tapi lo bikin tambah panas."
Pukul 22.13, sebuah pesan muncul dari nomor tak dikenal.
"Alvan, lo dilaporkan. Kemungkinan besok pagi ada panggilan ke Polres. Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Jangan main-main."
Alvan membacanya sambil menelan ludah. Ia langsung membuka pencarian dan mengetik: