Namun, kekuasaan Kerajaan Perlak mulai melemah ketika terjadi konflik internal pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah (888--913 M), sultan ketiga. Pada masa itu, Kerajaan Perlak mulai dimasuki oleh aliran Sunni, yang sebelumnya didominasi oleh Syiah.
Di masa pemerintahan sultan kelima, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (928--932 M), Perlak untuk pertama kalinya dipimpin oleh sultan dari golongan Sunni, dan inilah awal kejayaan Sunni di Perlak.
Konflik antara golongan Sunni dan Syiah terus berlanjut dan semakin memanas. Akhirnya, pada masa pemerintahan sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (956--983 M), dibuatlah Perjanjian Aule Meuh sebagai bentuk kompromi. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Perlak dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan:
- Kerajaan Perlak Pesisir yang dipimpin oleh kaum Syiah.
- Kerajaan Perlak Pedalaman yang dipimpin oleh kaum Sunni.
Perlak Pesisir dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Mahmud Syah (976--988 M). Namun, pada masa pemerintahannya, Perlak Pesisir diserang oleh Kerajaan Sriwijaya, dan Sultan Mahmud Syah gugur dalam pertempuran pada tahun 988 M.
Sementara itu, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986--1023 M) memimpin Perlak Pedalaman. Ia berusaha menyatukan kembali kedua wilayah Perlak menjadi satu kesultanan. Usahanya berhasil, dan pada tahun 1006 M, Sultan Malik Ibrahim berhasil mengusir Sriwijaya dan menyatukan kembali Kerajaan Perlak. Ia dianggap sebagai sultan kedelapan, meneruskan kepemimpinan sultan sebelumnya yang membuat Perjanjian Aule Meuh.
Pada masa pemerintahan sultan kesembilan, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1023--1059 M), kondisi kerajaan mulai stabil dan berkembang kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI