Organisasi mahasiswa (ORMAWA) pada dasarnya lahir dari semangat pemberdayaan diri dan partisipasi kolektif mahasiswa dalam melawan tantangan zaman. Ia bukan sekadar struktur birokratis di bawah naungan kampus, melainkan ruang belajar alternatif yang membentuk karakter, melatih kepemimpinan, dan menumbuhkan kesadaran sosial. Idealnya, ORMAWA hadir sebagai laboratorium sosial tempat mahasiswa merancang ide, bertumbuh bersama, dan menumbuhkan keberanian untuk bertanggung jawab terhadap perubahan sosial.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semangat itu mengalami pasang surut. Fenomena rendahnya partisipasi, regenerasi yang tersendat, hingga absennya gagasan-gagasan segar menjadi gejala umum di berbagai kampus. Banyak pengurus ORMAWA mengeluhkan sulitnya mencari kader penerus, lemahnya kehadiran anggota dalam forum-forum organisasi, bahkan tak sedikit program kerja yang hanya berjalan sebagai formalitas tanpa substansi. Dalam jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa (2024), disebutkan bahwa tantangan utama ORMAWA hari ini bukan hanya datang dari luar seperti kebijakan kampus yang membatasi ruang gerak, tetapi juga dari dalam: lemahnya komitmen dan partisipasi mahasiswa yang kian menurun dari waktu ke waktu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika organisasi mahasiswa kini berada dalam fase krisis komitmen. Mahasiswa tidak lagi memandang organisasi sebagai rumah intelektual atau ruang pengabdian sosial, melainkan sebagai beban tambahan di tengah tuntutan akademik dan kehidupan pribadi. Alih-alih ruang menjadi tumbuh, organisasi perlahan kehilangan daya magnetnya sebagai tempat yang layak diperjuangkan.
Ketimpangan Antara Nilai dan Praktik
Setiap organisasi mahasiswa dibangun atas nilai-nilai luhur yang tertuang dalam visi, misi, dan rumusan ideologisnya-mulai dari semangat kebangsaan, kepemimpinan kolektif, keberpihakan terhadap rakyat kecil, hingga cita-cita menjadi agen perubahan. Namun di banyak ruang ORMAWA hari ini, nilai-nilai tersebut seolah berhenti pada dokumen formal. Ia menjadi mantra yang diulang-ulang dalam Berbagai Sambutan, tetapi gagal menjelma dalam praktik keseharian organisasi.
Ketimpangan ini tampak dalam berbagai bentuk: kaderisasi yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter dan intelektualitas justru berakhir sebagai kegiatan seremonial tahunan. Diskusi-diskusi yang mestinya mendorong pemikiran kritis berubah menjadi pelengkap struktur acara. Banyak program kerja yang hanya dikejar demi pelaporan, bukan karena dorongan kebutuhan nyata pelajar atau masyarakat. Di sisi lain, pengurus seringkali lebih bertanggung jawab atas urusan teknis administratif daripada strategi pengembangan organisasi yang substansial.
Jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa menyoroti hal ini juga sebagai akibat dari model pengelolaan organisasi yang belum bertransformasi secara adaptif. Di tengah tuntutan zaman yang bergerak cepat, teknologi digital, arus informasi, dan perubahan nilai sosial organisasi mahasiswa sering kali gagal berinovasi. Kepemimpinan masih bersifat top-down, komunikasi internal tidak efektif, dan partisipasi ruang belum cukup terbuka bagi seluruh anggotanya.
Ketika nilai hanya berhenti di tataran wacana tanpa pembuktian nyata dalam tindakan, organisasi kehilangan kepercayaan dari anggotanya sendiri. Maka tak heran bila antusiasme menurun, dan kader muda memilih menjauh atau sekadar "ikut-ikutan" tanpa benar-benar terlibat. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi persoalan mendasar dalam keinginan organisasi: antara yang diyakini dan yang dijalani, terbentang jarak yang semakin lebar.
Saya sebagai Bagian dari Masalah dan Solusi
Dalam keheningan pasca rapat, di tengah berkas laporan kegiatan dan kursi-kursi yang ditinggalkan, saya pernah bertanya dalam hati: "Apakah yang saya bangun selama ini benar-benar bermakna, atau hanya mengulangi dari pola yang itu-itu saja?" Sebagai seseorang yang pernah memimpin organisasi mahasiswa, saya tidak luput dari kontradiksi yang saya kritik. Ada masa ketika saya begitu bersemangat menciptakan perubahan, tetapi tak jarang pula saya terseret dalam rutinitas administrasi yang membunuh kreativitas.
Saya menyadari bahwa sebagian dari masalah yang saya keluhkan berasal dari cara saya memimpin, berkomunikasi, dan membangun hubungan dalam organisasi. Ada waktu ketika saya terlalu fokus pada output kegiatan dan lupa membangun hubungan emosional dengan anggota. Ada momen ketika saya menuntut komitmen, tetapi gagal memberikan ruang tumbuh bagi yang baru belajar. Dan disanalah saya paham bahwa krisis dalam ORMAWA bukan hanya soal sistem atau struktur, tetapi tentang manusia-manusianya, termasuk saya sendiri.