Gelombang pertama kebijakan barak militer di Jawa Barat telah usai. Meski laporan hasil resmi belum terbit, sejumlah cerita dari orang tua siswa memberikan gambaran awal mengenai hasil dari kebijakan ini.
 Cantika, salah satu orang tua dari purwakarta, menceritakan perubahan drastis pada anaknya: bangun jam empat pagi untuk sholat berjamaah, lalu bersih-bersih rumah tanpa perlu disuruh. Upacara pemulangan peserta pelatihan juga diwarnai suasana emosional, setiap anak meminta maaf karena merasa telah mengecewakan orang tuanya.
Suasana positif tersebut disambut atusiasme tinggi warga Jawa Barat. Banyak orang tua berbondong-bondong  mendaftarkan anaknya ke barak militer. Walikota Depok, Supian Suri menyampaikan dari 50 kuota barak militer, hampir 300 anak lebih yang  didaftarkan pelatihan militer diivisi Kostrad TNI AD Cilodong, Depok.
Walau tidak menunjukkan hasil secara keseluruhan, cerita di atas menunjukkan kepercayaan  awal masyarakat terhadap program barak militer sebagai solusi konkrit atas masalah kenakalan remaja.  Namun, perlu dipertanyakan kembali: apakah barak militer adalah solusi jangka panjang yang tepat untuk kenakalan remaja?
Kenakalan Remaja itu kompleks, bukan soal disiplin saja
Kenakalan remaja tidak lahir dari satu faktor tunggal belaka. Perlu pemahaman yang mendalam soal berbagai "faktor risiko" lainnya. Madhu Kumari G. (2022) dalam penelitiannya yang berjudul "Juvenile Delinquent Behavior, Risk Factors, and Quantitative Assessment Approach: A Systematic Review"Â menyebutkan ada lima faktor risiko yang perlu diperhatikan: Â faktor individu, keluarga, teman sebaya, sekolah, dan komunitas lingkungan.
Michael Shader dalam dalam artikelnya yang berjudul "Risk Factors for Delinquency: An Overview"Â (2001) menegaskan bahwa kenakalan remaja tergantung kumulasi interaksi antar faktor risiko. Anak yang tidak pernah terpapar hal negatif di keluarga masih memiliki kerentanan terhadap faktor risiko lainnya seperti pergaulan teman sebaya. Â Pengaruh tersebut juga masih tergantung faktor individu anak yang cenderung menerima atau melakukan penolakan.
konsep The Triple Risk for Delinquency (TDR) milik S. Redondo menguatkan keberadaan interaksi antar faktor risiko ini. Â Menggunakan model tiga faktor risiko (personal, sosial, dan lingkungan) secara sederhana konsep ini bisa dipahami sebagai berikut:
"Anak dengan psikologi tidak stabil (personal) + tidak ada dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar (absennya upaya pencegahan) + pengaruh perilaku menyimpang di lingkungan (sosial) = motivasi kenakalan remaja pada anak."
Contoh Kumulasi Interaksi Antar Faktor Risiko: Tawuran 27 Anak Sekolah Di Bandung Barat
Untuk mendapatkan gambaran dalam konteks kasus lokal, mari aplikasikan konsep sebelumnya dalam kasus tawuran 27 anak sekolah di Bandung Barat, 25 April lalu. Tawuran terjadi karena saling ejek di media sosial antara dua siswa yang berasal dari dua sekolah yang berbeda. Kejadian saling ejek tersebut ternyata diprovokasi ke dua sekolah lain sehingga total ada empat sekolah dan 27 siswa yang terlibat (Tribratanews.jabar.polri.go.id).