Mohon tunggu...
Raden Muhammad Adiputera
Raden Muhammad Adiputera Mohon Tunggu...

Saat ini memegang status sebagai seorang mahasiswa s1 akuntansi FEB UGM. Gemar traveling, cycling, berpetualang dan aikido.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jika Ada Jalan Mudah, Mengapa Memilih yang Susah?

5 Mei 2010   13:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika ada yang bingung dengan jalan pikiran Chris McCandless, tokoh utama dalam novel Into the Wild, mungkin memang mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan dia. Tapi saya, mengakui bahwa saya memiliki pola pikir yang relatif sama, walau tidak se-ekstrim Chris. Dia bukan seorang yang memiliki keterbatasan dari segi ekonomi, tetapi dia lebih memilih jalan yang berliku dengan segala keterbatasannya. Sebuah pilihan yang sulit dijelaskan dengan logika.

Ada seorang, atau mayoritas masyarakat yang lebih memilih liburan dengan segala fasilitas dan kemewahannya, bila tidak memperhitungkan faktor ekonomi. Liburan yang serba mudah dan nikmat. Datang menggunakan pesawat, dijemput dengan mobil mewah, tinggal di hotel bintang 5, mendapat pelayanan penuh. Yang diperlukan hanya tinggal bersenang-senang tanpa perlu menderita. Tapi, saya bukan termasuk golongan tersebut.

Seorang teman saya yang cukup dikenal di kalangan travel journalist, Ayos, pengampu blog hifatlobrain.blogspot.com, bahkan menyebut saya seorang masokis. Seorang yang senang dengan penderitaan. Tetapi itu jika pola pikir saya direpresentasikan secar parsial saja. Sebenarnya ada berbagai pertimbangan yang mempengaruhi keputusan saya.

Saya memiliki pengalaman naik kereta ekonomi dan eksekutif. Tentu jika menggunakan kereta eksekutif perjalanan akan terasa lebih nyaman, AC, TV, kursi empuk, tidak perlu berebut mencari kursi, cepat dan tidak adanya pedagang berseliweran. Keadaan dalam kereta ekonomi berbenading terbalik dengan kereta eksekutif, panas, kursi yang keras dan tegak, berebut mencari kursi, lama, dan pedagang yang lewat tiada henti. Akan tetapi, menggunakan kereta ekonomi masih lebih menyenangkan untuk saya. Di kereta eksekutif kita tidak akan menemui hal-hal dan cerita yang berkesan.

Ada beberapa cerita saya ketika naik kereta ekonomi dari Jogja ke Bandung. Pada waktu itu kereta begitu penuh sehingga kami harus duduk di bawah, akan tetapi keadaan tersebut justru mengakrabkan kami dengan penumpang lainnya, kami sempat mengobrol seblum akhirnya tertidur. Lalu ada seorang ibu memberi tempat bagi saya dan teman saya walaupun itu berarti harus mengorbankan kenyamanan posisi tidur ibu tersebut, yang tidur layaknya di kasur sendiri. Bahkan teman saya saking pulasnya tidur, dia bersandar ke bahu ibu tersebut seperti laykanya sepasang kekasih. Ada lagi saat cuaca begitu panas, kami saling memijat leher masing-masing, tiba-tiba ada seorang pedagang yang memberi pijatan kepada kami dan terbukti sedikit menghilangkan rasa mual. Ada lagi seorang pedagang yang hanya memiliki satu kaki dan menjajakan dagagannya dengan segala keterbatasan fisiknya. Hal-hal tersebut yang tidak akan dapat dijumpai jika menggunakan kereta eksekutif.

Saya lebih senang proses daripada sekedar hasil.

Saya lebih senang cerita perjalanan daripada sekedar foto.

Saya lebih suka tantangan daripada kemudahan.

Saya lebih senang hal yang dinamis daripada statis.

Sebenarnya bukan perjalanan yang susah yang saya cari, tetapi perjalanan susah akan lebih berkesan, menimbulkan banyak cerita dan pengalaman menarik, kebersamaan, dan cerita tak terduga lainnya. Hal tersebut merupakan definisi nikmat menurut saya. Dengan perjalanan yang diliputi kesusahan dan keterbatasan, buah keringat hasil perjuangan tersebut akan terasa lebih manis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun