Mohon tunggu...
Muhammad Adib Alfarisi
Muhammad Adib Alfarisi Mohon Tunggu... Penulis - sang perantau

"Menulis untuk mengabadikan sebuah tulisan melalui karya-karyanya, membaca, menulis, berdiskusi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Geliat Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita-cita dan Penguasa

16 Oktober 2020   10:50 Diperbarui: 16 Oktober 2020   11:13 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di samping isinya yang kontradiktif, pertimbulan pernyataan sejumlah masyarakat terkait hal ini agaknya sangat terburu-buru dan itu perlu dikritisi. Sebaliknya melihat situasi Negara yang tidak aman bukan berarti “demokrasi kita telah kebablasan”, tetapi “demokrasi kita telah terpenjara oleh oligarki”. Sehingga, praktik-praktik penyimpangan demokrasi yang dikeluhkan sejumlah masyarakat, bukan disebabkan oleh demokrasi itu sendiri melainkan oleh oligarki yang menunggangi sistem demokrasi tersebut. Dengan demikian, kita perlu mengetahui apa itu “Demokrasi Oligarki”.

Demokrasi oligarki istilah yang merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era-reformasi. 

Kebanyakan masyarakat terjebak pada euforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya berserta kaum penguasa dan konglemerat.

Kenyataannya bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru kembali dikuasai oleh para oligarki telah berulang kali. “Keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama”. 

Namun, satu hal pasti, bahwa kenyataan rezim politik hari ini benar-benar ada di bawah kuasa para oligarki sulit dinafikan. Oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang menghubungkan kepentingan para konglomerat kaya raya selalu lihai dalam beradaptasi dengan sistem apapun, baik otoratirianisme maupun demokrasi.

Coba kita perhatikan, kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik rata-rata adalah petarung lama. Tidak ada yang baru sama sekali. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki. 

Para oligarki di atas, termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan Soeharto melalui relasi patron-client. Hubungan kekuasaan lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orde Baru, belakangan setelah runtuhnya “Soeharto”, tampil sebagai pejuang demokrasi berkedok populis. Inilah wajah anomali demokrasi pasca otoritarianisme Soeharto. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, yang juga notabene adalah milik mereka selalu di lingkungan para penguasa dan mengunakan alat kekuasaan untuk melumpuhkan rakyat.

Demokrasi Milik Rakyat Atau Kaum Elite?

Bagaimana dikatakan pilihan rakyat, jika calon pemimpin/penguasa baik di pusat maupun di daerah, melewati suatu saringan politik di internal partai (kecuali calon independen) yang syarat dengan kalkulasi kapital tanpa melalui usulan publik (rakyat) dianggap pilihan rakyat? Nalar sehat macam apa yang melihat fakta politik demikian sebagai logika publik yang mengonfirmasikan diri dalam bentuk pilihan rasional? Bukankah itu yang selama ini kita sebut kegilaan di atas kegilaan? Alias ketidakwarasan yang cenderung diafirmasi secara terus-menerus tanpa refleksi.

Demokrasi berjalan sebagaimana esensinya, yakni sebagai kekuasaan rakyat, maka ia harus mengambil langkah-langkah politik dan ekonomi untuk membendung atau membonsai kekuasaan oligarki yang mendominasi lapangan permainan politik saat ini. 

Presiden Jokowi dan para penasehatnya harus ingat bahwa “politisasi suku, agama, dan ras”, yang disebutnya sebagai “penyakit demokrasi” bukanlah hal yang baru muncul sekarang ini. Ia sudah bertunas dan berkecambah sejak 10 tahun kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan memuncak pada masa Pilpres 2014 lalu. Penyakit ini semakin berbiak karena tidak ada langkah-langkah politik dan ekonomi yang strategis untuk membendungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun