Sebuah kasus pembunuhan yang telah membeku selama tiga dekade akhirnya terpecahkan berkat kemajuan teknologi forensik. Mary McLaughlin (59), seorang ibu dari ke-11 anak, ditemukan tewas di apartemennya di Partick, Glasgow, pada tahun 1984. Selama bertahun-tahun, penyelidikan tidak membuahkan hasil, hingga jejak DNA yang ditemukan pada puntung rokok mengungkap identitas pelaku di balik misteri ini.
Pada malam 26 September 1984, Mary McLaughlin terakhir kali terlihat saat ia menghabiskan malam dengan minum-minum sambil bermain domino di Hyndland Pub, sekarang Duck Club, Glasgow. Setelah menghabiskan waktu bersama teman-temannya, ia dilaporkan meninggalkan pub sekitar pukul 22.15 -- 22.30 dan berjalan sejauh 2 km menuju rumahnya di Laurel Street. Ditengah jalan ia sempat mampir ke sebuah toko cemilan untuk membeli rokok dan cemilan, ia juga sempat bercanda dengan penjaga toko tersebut. Seorang saksi yang merupakan supir taksi menyatakan bahwa saat itu ia melihat seseorang telah mengikuti Mary. Namun, ia tidak pernah terlihat lagi selepas malam itu.
Pada 2 Oktober 1984, 6 hari setelah malam terakhir kali Mary terlihat, Martin Cullen (24) yang merupakan anak Mary berkunjung ke apartemennya, setiap seminggu sekali ia rutin mengunjungi sang ibunda. Namun, kunjungan Martin kali ini terasa berbeda, sebab ia mencium aroma yang menyengat dari apartemen ibunya, hingga jasad Mary McLaughlin ditemukan di apartemennya. Mary ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa, terbaring di tempat tidurnya tanpa seprai, dengan tanda-tanda kekerasan di leher yang mengindikasikan bahwa ia dicekik hingga tewas. Barang-barang berharga di apartemennya tetap utuh, menunjukkan bahwa perampokan bukan motif utama hilangnya nyawa Mary.
Pihak kepolisian yang datang ke TKP menemukan Mary masih mengenakan gaun yang sama di malam terakhir kali ia terlihat, namun pakaian tersebut dikenakan secara terbalik. Pihak kepolisian juga mengumpulkan beberapa barang bukti, termasuk gigi palsunya yang tergeletak di lantai, serta puntung rokok yang ditemukan di asbak di meja ruang tamu. Saat itu, teknologi forensik belum mampu mengekstrak DNA dari puntung rokok tersebut, yang membuat penyelidikan terhenti selama beberapa dekade.
"Jika ibu saya ada di rumah, dia akan membuka pintu. Namun, (kunjungan saya) kali itu tidak ada jawaban. Saya melihat ke dalam kotak surat dan mencium bau yang sangat menyengat, jadi saya memutuskan untuk mendobrak pintu. Saya benar-benar ketakutan. Saya gemetar," ujar Martin. "Ibu saya adalah orang yang periang. Bermain domino, pergi ke pub. Sungguh menyedihkan mengingat orang terakhir yang dia lihat adalah orang yang telah merenggut nyawanya," tambahnya.
Tempat kejadian itu digambarkan sebagai "sangat mengerikan" oleh detektif veteran Iain Wishart.
Hasil autopsi menunjukkan bahwa Mary telah meninggal dunia karena dicekik setidaknya lima hari sebelumnya. Pada bulan-bulan berikutnya, detektif mengumpulkan lebih dari 1.000 keterangan, tetapi penyelidikan pembunuhan Mary tidak berhasil. Keluarga Mary kemudian diberitahu pada tahun berikutnya bahwa penyelidikan kasus pembunuhan telah dihentikan. Namun, Gina McGavin, putri Mary, diingatkan oleh seorang agen dari Departemen Investigasi Kriminal untuk tidak kehilangan harapan.
Jejak DNA pada Puntung Rokok: Kunci Pemecahan Kasus
Mary sangat dikenal baik di lingkungannya, ia memiliki sebelas anak perempuan dan dua pria. Dilansir dari cuplikan dokumenter BBC berjudul "Murder Case: The Hunt for Mary McLaughlin's Killer," Gina, salah seorang putri Mary, mengatakan bahwa ketika dia menemukan Mary meninggal, terjadi ketegangan diantara saudaranya. Gina, yang sempat pesimis hingga menulis buku tentang pembunuhan ibunya, mengatakan bahwa dia memberi tahu polisi tentang kecurigaannya.
"Saya pikir ada pembunuh yang bersembunyi di keluarga kami," ujar Gina. "Saudara-saudara saya berpikiran sama seperti saya pada 1984. Bahwa salah satu putranya sendiri terlibat [pembunuhan] atau mengetahui sesuatu yang lain, tetapi kami tidak dapat membuktikan apa pun," tambahnya.
Sampel yang dikumpulkan di TKP pada 1984 meliputi helai rambut Mary, kuku Mary, dan puntung rokok. Joanne Cochrane, seorang ilmuwan forensik senior dari Scottish Crime Campus (SCC), diminta untuk memeriksa bukti tempat kejadian kasus yang telah disimpan selama tiga puluh tahun. Profil DNA belum diketahui pada saat itu (di tahun 1984). Orang-orang yang bertanggung jawab untuk menjaga bukti ini mulanya tidak mengetahui potensi dari benda-benda ini. Mustahil untuk langsung mengetahui nilai yang terkandung didalamnya. Namun, Cochrane menyatakan bahwa kelompoknya optimis saat menangani bukti tersebut.
Empat investigasi terpisah yang dilakukan pada tahun 2008 tidak berhasil mengidentifikasi profil tersangka. Hingga akhirnya, penyelidikan kelima dimulai pada 2014 di Scottish Crime Campus (SCC) di Gartcosh, Skotlandia. Teknologi yang terdapat pada SCC memungkinkan untuk menganalisis sampel bukti yang lebih kecil dan terdegradasi (rusak), yang mana penyelidikan lanjutan berbuah 24 penanda DNA yang berhasil diidentifikasi, meningkat dari yang sebelumnya hanya 11 penanda dari sampel yang ada. Sampel yang disimpan dari temuan penyelidikan awal, termasuk puntung rokok yang ditemukan di asbak di apartemen Mary, dianalisis ulang. Setelah gagal mendapatkan kecocokan DNA dari rambut, kancing, dan potongan kuku, puntung rokok membantu melacak tersangka.
Puntung rokok tersebut menarik perhatian karena bukan merek yang biasa dikonsumsi oleh Mary. Cochrane percaya bahwa dengan kemajuan teknologi, ia dapat memperoleh jejak DNA. Hal ini merupakan peningkatan yang signifikan, memungkinkan para peneliti untuk mendapatkan hasil dari sampel yang lebih merinci. Pada 2015, Tom Nelson, Kepala Forensik Kepolisian Skotlandia, menyatakan bahwa teknologi akan memungkinkan kita untuk kembali ke masa lalu, dengan harapan untuk memberikan keadilan kepada mereka yang hampir putus asa.
Pada 2019, kasus ini kembali dibuka oleh Kepolisian Skotlandia. Dengan kemajuan teknologi DNA, para ahli forensik menggunakan metode ekstraksi DNA canggih untuk memeriksa kembali puntung rokok yang ditemukan di TKP. Sampel DNA yang diekstrak kemudian diperiksa menggunakan metode Short Tandem Repeat (STR) DNA Profiling, yang memungkinkan pencocokan dengan database DNA kriminal nasional.
Dalam kasus McLaughlin, hasil analisis menunjukkan kecocokan DNA dengan seorang pria bernama Graham McGill, yang pada saat Mary dinyatakan meninggal, ia sedang menjalani hukuman di penjara atas kasus kekerasan seksual. McGill sebelumnya tidak dianggap sebagai tersangka karena tidak ada bukti langsung yang mengaitkannya dengan korban. Namun, dengan bukti DNA baru ini, polisi segera memeriksa McGill dan mengumpulkan bukti tambahan sebelum mengajukan tuntutan pembunuhan terhadapnya.
Analisis Kajian Kriminologi Forensik
Menurut laman biometricscommissioner.scot, Misteri pembunuhan Glasgow tahun 1984 Mary McLaughlin terpecahkan setelah para forensik berhasil mengekstaksi materi biologis berusia 35 tahun dari simpul ligatur yang digunakan pada korban. Dengan melalui analisis DNA24 dan data DNA Skotlandia, ilmuwan forensik membuat profil 24 penanda urutan genom (standar kepolisian Inggris dan Interpol adalah 17 penanda DNA) yang menetapkan kecocokan profil DNA terhadap pelaku kejahatan seks terpidana Graham McGill.
Kasus-kasus ini menunjukkan kemajuan teknologi forensik dan biometrik dalam dua dekade terakhir dan bagaimana mereka telah membantu masyarakat. Tidak diragukan lagi, teknologi ini tidak menciptakan kesalahan atau ketidakbersalahan. Sebaliknya, teknologi ini membantu penyelidik manusia dengan cara yang seringkali tidak dapat diukur.
Biometrik berperan dalam meyakinkan kita akan suatu identitas pelaku kejahatan, dan akan terus berusaha meningkatkan nilai yang memberatkan bagi para pelaku, membebaskan bagi para korban, dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang. Dengan mengacu "DNA Time Capsules" dalam tinjauan kasus yang belum terpecahkan, teknologi tersebut juga menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban yang telah putus asa untuk mendapatkan keadilan selama dekade sebelumnya.
Dalam dunia kriminologi forensik, kasus dingin sering kali mengalami kendala akibat degradasi bukti biologis. Namun, perkembangan dalam teknologi pemrosesan DNA telah mengubah pendekatan dalam penyelidikan kasus-kasus lama. Salah satu teknik yang sangat berperan dalam kasus Mary McLaughlin adalah Advance DNA Profiling
Advance DNA Profiling adalah metode standar dalam identifikasi DNA yang membandingkan pola pengulangan urutan DNA spesifik pada individu. Teknik ini memungkinkan penyelidik menemukan kecocokan antara sampel DNA dengan profil yang ada dalam database forensik.
Selain analisis DNA, penyelidik juga mengamati pola kejahatan McGill. Ia diketahui memiliki riwayat kekerasan terhadap perempuan dan telah beberapa kali dihukum atas kasus serupa. Dalam perspektif profiling kriminal, pelaku dengan pola kejahatan berulang seperti ini sering kali menunjukkan eskalasi dalam tindakan mereka, yang akhirnya berujung pada pembunuhan.
Dalam dunia kriminologi forensik, Advanced DNA Profiling menjadi bagian integral dari Analisis TKP dan Bukti Fisik, sebagaimana dikategorikan dalam buku Forensic Criminology (2010) karya Wayne Petherick, Brent E. Turvey, dan Claire E. Ferguson. Teknologi ini berperan penting dalam mengungkap kasus kriminal, terutama yang telah lama tidak terpecahkan atau cold case.Â
Sebagai bagian dari evidence-based forensic science, DNA Profiling memungkinkan penyidik menghubungkan pelaku dengan TKP, korban, atau barang bukti lainnya. Sampel DNA yang berasal dari darah, air liur, rambut, sperma, atau jaringan tubuh lain sering kali menjadi petunjuk utama dalam penyelidikan kejahatan.Â
Teknologi DNA Profiling telah terbukti efektif dalam mengungkap kasus yang sempat mandek selama bertahun-tahun. Salah satu contohnya adalah kasus pembunuhan Mary McLaughlin, di mana analisis DNA pada puntung rokok yang ditemukan di apartemen korban akhirnya mengarah pada identifikasi tersangka setelah puluhan tahun. Perkembangan teknologi, seperti Y-STR Analysis, Mitochondrial DNA Testing, dan Next-Generation Sequencing (NGS), memungkinkan sampel yang sebelumnya dianggap tidak memadai untuk memberikan hasil yang lebih akurat.
Tidak hanya berperan dalam proses investigasi, Advanced DNA Profiling juga menjadi alat penting dalam pembuktian hukum. Di pengadilan, bukti DNA sering kali menjadi faktor penentu dalam menghubungkan tersangka dengan kejahatan. Metode seperti probabilistic genotyping, yang menggunakan perhitungan statistik pada sampel DNA campuran, dapat meningkatkan keakuratan identifikasi individu.Â
Selain menjadi bagian dari Analisis TKP dan Bukti Fisik, Advanced DNA Profiling juga dapat digunakan dalam profiling pelaku. Data DNA yang diperoleh dapat dibandingkan dengan catatan kriminal dalam database seperti CODIS (AS) atau UK National DNA Database, membantu mengidentifikasi pelaku yang memiliki riwayat kejahatan serupa di masa lalu.Â
Dengan kemajuan teknologi forensik, Advanced DNA Profiling terus menjadi elemen kunci dalam investigasi kriminal, memungkinkan penyidik mengungkap kebenaran bahkan dalam kasus yang telah lama terkubur dalam arsip penyelidikan.Â
Akhir dari Kasus dan Vonis Pelaku
Menurut catatan, dia belum dibebaskan sampai 5 Oktober 1984, sembilan hari setelah wanita itu dinyatakan meninggal dunia. Untuk memecahkan misteri itu, Mantan Sersan Kenny McCubbin ditunjuk. Selain itu, Cochrane diberitahu bahwa untuk membangun kasus yang meyakinkan, diperlukan bukti forensik tambahan.
Bukti tambahan ditemukan melalui pencarian: jubah yang digunakan untuk mencekik Mary. Cochrane percaya bahwa individu yang mengencangkan simpul tersebut mungkin telah menyentuh bagian bahan yang tersembunyi di dalamnya. Dia perlahan melepaskannya, sedikit demi sedikit, di bawah cahaya lampu neon di laboratoriumnya, sampai ia memperlihatkan jaringan itu untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga puluh tahun. "Kami menemukan bukti kunci, DNA Graham McGill," kata Cochrane. "Dia telah mengikatkan ikatan itu di leher Mary dan membuat simpul-simpul itu untuk mencekik Mary."
Gaun berwarna hijau yang dikenakan Mary juga mengandung air mani McGill. Dalam film dokumenter itu, McCubbin menyatakan bahwa bukti forensik tidak cukup untuk menjamin hukuman. "Tidak masalah DNA apa yang kita miliki," katanya. "Dia punya alibi yang sempurna. Bagaimana dia bisa melakukan pembunuhan jika dia berada di penjara?" Catatan sulit ditemukan karena Penjara Edinburgh sedang dibangun kembali pada saat pembunuhan itu, dan banyak dokumen hilang. Namun, McCubbin tiba di Arsip Nasional Skotlandia di pusat kota Edinburgh. Di sana, ia menemukan buku harian sipir. Setiap hal dapat diubah oleh sebuah catatan.
Nama "G McGill" dan inisial "TFF" muncul di sebelah nomor penjara. Mantan sersan itu berkata "Itu adalah pelatihan menjelang dibebaskan, yang berarti cuti akhir pekan di rumah." Menurut tim penyelidikan, McGill mengambil cuti dua hari akhir pekan dan tiga hari cuti pra-pembebasan bersyarat. Dia kembali ke penjara pada tanggal 27 September 1984. Mantan penyidik Mark Henderson mengatakan "Itulah bongkahan informasi yang kami cari."
Dia masih diawasi sebagai pelaku kejahatan seks saat itu dan bekerja sebagai produsen di perusahaan. Anak Mary, Gina, menyatakan bahwa berita itu melegakan, sambil berucap "Saya tidak pernah menyangka akan melihat ini seumur hidup saya." McGill akhirnya dinyatakan bersalah setelah sidang selama empat hari pada April 2021 dan dijatuhi hukuman seumur hidup dengan minimal 14 tahun penjara untuk pengajuan bebas bersyarat.
Hakim Lord Burns mengatakan kepada Pengadilan Tinggi di Glasgow bahwa McGill berusia 22 tahun ketika ia mencekik Mary, tetapi baru diadili saat berusia 59 tahun. Ia menambahkan: "Keluarganya harus menunggu selama ini untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas tindakan ini, mengetahui bahwa siapa pun yang melakukannya kemungkinan besar masih bebas." "Mereka tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari mereka akan mengetahui apa yang telah terjadi padanya."
Jaksa dalam kasus ini menegaskan bahwa kejahatan McGill dilakukan dengan unsur kesengajaan dan bahwa bukti DNA menjadi faktor kunci dalam keputusan hukum. Hakim yang memimpin persidangan menekankan bahwa McGill telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi keluarga korban, yang telah menunggu lebih dari 30 tahun untuk mendapatkan keadilan. "Ini adalah pengingat bahwa teknologi forensik dapat memainkan peran besar dalam mengungkap kebenaran, bahkan setelah puluhan tahun," ujar sang hakim dalam putusannya.
Keluarga McLaughlin akhirnya mendapatkan jawaban atas tragedi yang telah membayangi mereka selama bertahun-tahun. Catherine McLaughlin, anak korban, menyatakan kelegaannya setelah mendengar putusan tersebut. "Kami tidak pernah menyerah pada harapan bahwa keadilan akan ditegakkan. Kami sangat berterima kasih kepada kepolisian dan tim forensik yang tidak pernah berhenti mencari kebenaran."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI