Keadilan dalam Pemasaran Syariah
Berbeda dengan model konvensional, pemasaran syariah bersifat sharia-driven. Artinya, setiap aktivitas pemasaran didasarkan pada prinsip halal-thayyib, keadilan, dan keberkahan, dengan rujukan utama Al-Qur'an dan Hadis. Standar moralitas dalam pemasaran syariah bersifat transenden dan mutlak, bukan relatif. Prinsip ini ditegaskan dalam firman Allah:
"Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS. An-Nisa: 59).
Dengan fondasi epistemologis tersebut, pemasaran syariah hadir bukan hanya untuk menciptakan keuntungan, tetapi juga untuk menjaga keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Tujuannya sejalan dengan maqid al-shar'ah, yakni menjaga agama (if al-dn), jiwa (if al-nafs), keturunan (if al-nasl), harta (if al-ml), dan akal (if al-'aql) (Dusuki & Bouheraoua, 2019).
Dimensi Keberlanjutan (Sustainability) dalam Pemasaran Syariah
Selain aspek halal-thayyib dan keadilan, pemasaran syariah menekankan pentingnya keberlanjutan (sustainability) sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial. Prinsip ini sejalan dengan maqid al-shar'ah yang menghendaki terjaganya kemaslahatan umat tidak hanya pada saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, pemasaran syariah menolak praktik eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, menghindari pencemaran lingkungan, dan mendorong tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang autentik, bukan sekadar formalitas (Aziz & Musa, 2022; Wilson & Liu, 2023).
Dalam konteks global, orientasi keberlanjutan ini menjadikan pemasaran syariah semakin relevan, mengingat konsumen modern baik Muslim maupun non-Muslim semakin kritis terhadap isu lingkungan, etika, dan kesehatan (Ali & Sherwani, 2023). Dengan demikian, dimensi keberlanjutan mempertegas diferensiasi pemasaran syariah dari model konvensional yang cenderung menomorsatukan laba jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekologi dan masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemasaran syariah hadir sebagai paradigma alternatif terhadap pemasaran konvensional yang sering kali mengalami krisis moralitas.Â
Kritik utama terhadap pemasaran konvensional terletak pada sifatnya yang market-driven dan value-free, sehingga menimbulkan praktik manipulatif, eksploitasi, dan kerusakan etika pasar. Sebaliknya, pemasaran syariah bersifat sharia-driven, menjadikan Al-Qur'an dan Hadis sebagai standar moral absolut, serta mengintegrasikan nilai-nilai halal-thayyib, keadilan, keberkahan, dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, penekanan pada keberlanjutan (sustainability) menjadikan pemasaran syariah tidak hanya relevan bagi konsumen Muslim, tetapi juga semakin diterima secara universal oleh konsumen global yang peduli pada etika, lingkungan, dan kesehatan.Â