Nama saya Andi. Umur 20 tahun. Tidak seorangpun pernah menanyai tentang asal-usul ketika saya menari di lampu merah. Didaerah sini saya lebih dikenal dengan nama Pengkol. Yaa karena kaki saya demikian adanya.Â
Cita-cita saya hanya satu, melihat adik sekolah, nggak usah tinggi-tinggi SMK saja cukup, yang penting punya ijazah untuk kerja. 10 tahun lalu kami pindah dari desa kecil dekat pantai lemah abang ke Semarang, bukan karena ingin tapi hutang ayah memaksa kami beranjak pergi.Â
Ayah minggat entah kemana meninggalkan kami di Semarang. Stasiun Poncol jadi tempat terakhir saya melihat Ayah. Sekarang ibu saya pasien Corona kelas 3 dulu sewaktu di desa ia adalah guru menari. Sesampai di Semarang Ibu juga masih menari menggunakan selendang yang sama di pinggang.Â
Kami sering diajak menari, Ibu pernah bilang kalau kami membawa rejeki. Dulu saya belum paham maksud dari kata-kata itu. Kini saya paham, ibu menjual wajah kami demi uang receh dari kantong para pengendara.Â
Saya tidak menyalahkan justru malah bersyukur karena tiap kali kami ikut Ibu akan membeli lauk yang enak untuk makan malam. Semua telah berlalu.Â
Sekarang saya hanya memikirkan bagaimana caranya menjalani hidup sehari-hari, membiayai sekolah adik dan membagi waktu menjaga ibu dirumahsakit. Semenjak corona, dilampumerah uang receh semakin sulit keluar kantong.Â
Tapi Saya tidak ingin menyerah dengan kondisi demi hidup adik dimasa depan. Saya tetap akan menari, tidak hanya karena suka, tapi karena kaki saya tidak banyak memberi pilihan hidup.