Mohon tunggu...
Muhammad Amir M
Muhammad Amir M Mohon Tunggu... Statistisi -

Staf Seksi Integrasi dan Diseminasi Statistik BPS Kabupaten Alor

Selanjutnya

Tutup

Money

Pariwisata dan Kemiskinan Masyarakat NTT

8 Desember 2018   11:57 Diperbarui: 8 Desember 2018   12:59 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan sepertinya selalu terdengar klasik di bumi flobamora. Seakan tak pernah pudar, berbagai solusi soal masalah ini selalu menjadi janji para calon pemimpin daerah ini. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur baru saja merilis data kemiskinan Provinsi NTT dalam tajuk Berita Resmi Statistik (BRS).

Menurut laporan tersebut, jumlah penduduk miskin di bumi flobamora pada bulan Maret 2018 mencapai 21,35% dari total penduduk atau sekitar 1,142 juta jiwa. Jumlah ini meningkat dari bulan September 2017 yang "hanya" 1,134 juta jiwa atau naik sebanyak 7400-an jiwa. 

Dari jumlah tersebut, 1,02 juta penduduk miskin tinggal di perdesaan dan sisanya sebanyak 122 ribu penduduk miskin tinggal di perkotaan. 

Meskipun begitu, rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan dan intensitas kemiskinan dinilai "membaik". Hal ini ditunjukkan penurunan angka Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode yang sama. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari semula 4,158 pada September 2017 menjadi 3,908 pada Maret 2018. Demikian halnya Indeks Keparahan Kemiskinan yang turun dari 1,174 menjadi 1,026.

Masalah kemiskinan memang melibatkan dimensi sosial-ekonomi yang kompleks. Suatu hal yang diyakini dapat mengentaskan masalah kemiskinan adalah mengoptimalkan potensi yang ada agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Saat ini, wilayah Bali-Nusra melalui MP3EI dimana Provinsi NTT ada didalamnya tengah difokuskan pada suatu sistem perekonomian yang bertumpu pada pariwisata. Hal ini tentu berdasar pada potensi yang dimiliki wilayah tersebut. Terlebih, NTT memiliki potensi pariwisata yang mendunia. 

Sebut saja Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, Taman Laut Pantar di Alor, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata pun gencar dilakukan, diantaranya yaitu naiknya status Bandara Komodo menjadi bandara internasional, rencana perpanjangan landasan pacu di beberapa bandara, pembangunan pelabuhan, promosi pariwisata, hingga optimalisasi daya tarik wisata. 

Terbukti, jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara melonjak dari 332 ribu orang pada tahun 2011 menjadi 496 ribu orang pada tahun 2016. Tak hanya itu, unsur penunjang pariwisata juga semakin banyak seperti jumlah rumah makan atau restoran yang meningkat dari 704 pada 2011 menjadi 960 pada tahun 2016.

Sama halnya dengan usaha akomodasi dimana pada tahun 2013 terdapat sebanyak 272 usaha meningkat menjadi 384 usaha pada tahun 2016. Gambaran ini menunjukkan adanya perbandingan yang lurus antara permintaan dan penawaran. Lantas kenapa kemiskinan masih menjadi masalah akut yang tak kunjung sembuh? Bukankah pariwisata seharusnya memberi dampak yang positif bagi masyarakat menengah kebawah?

Menurut hemat penulis, multiplier effect dari menggeliatnya pariwisata hanya akan dirasakan oleh masyarakat menengah-bawah apabila pengembangan pariwisata didasarkan pada asas pariwisata berkelanjutan. 

UNWTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang melibatkan semua pihak, memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dimasa kini maupun masa mendatang. Pariwisata berkelanjutan juga harus menangani kebutuhan wisatawan, industri, bahkan masyarakat sekitar agar selaras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun